Ruang Sendiri
Cahaya
lembut matahari senja mengintip di balik dedaunan pohon jambu yang berjajar
rapi di halaman sekolah. Manakalanya sedang berbuah hampir semua siswa
menghindar dari sana, karena pada saat itu akan tinggal sebuah keluarga besar
ulat bulu berwarna hitam. Angin senja menuju malam mengecup setiap lembar daun
jambu, yang membuat mereka mengisyaratkan lambaian selamat tinggal. Tapi tidak
dengan hari ini, tampaknya semua orang tidak ingin terlelap terlalu cepat.
Ada satu hari dalam satu tahun di mana
sekolah lebih ramai dari biasanya. Banyak orang bercengkrama dan menikmati
suasana yang jauh dari kata serius. Semuanya tampak sibuk dengan tugasnya
beberapa ada yang kelelahan. Tetapi ekspresi sumringah mendominasi wajah
orang-orang yang berdatangan sejak pagi. Hari ini sekolah menggelar pentas seni
besar-besaran, hampir semua siswa terlibat dalam perhelatan akbar ini.
Sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang,
di atas panggung MC sudah memberi pengumuman. Untuk sementara kegiatan akan dihentikan
selama empat puluh lima menit, sebagai istirahat sebelum masuk ke puncak acara.
Langit tampaknya kurang bersahabat dengan mereka, awan bersemu kehitaman;
tampaknya mendung sedang mengepung.
Di antara puluhan orang yang sedang berdiri
di depan panggung, gadis dengan rambut sebahu itu tampak berseri menatap layar
kameranya sambil menimang sebuah MP3
player yang sama kelabunya dengan langit. Apapun yang ada di dalam gadget
itu tampaknya ia tidak peduli, matanya seakan tak bisa beralih dari obyek yang
telah ia potret.
Sampai akhirnya seorang teman menepuk
pundaknya. Wajah berserinya kemudian luntur dan berganti dengan bingung. Ia
menatap kotak kelabu itu lalu meraih sebuah handy-talkie
yang ia taruh di saku bajunya. Setelah ia tampak berbincang dengan temannya dan
seseorang di ujung HT yang lain,
gadis itu lalu berlari menuju ke backstage
dan mencari tempat yang menurutnya akan aman dari hujan, jika saja nanti
turun.
Sebuah bangku dan meja panjang di tengah
pelataran koperasi siswa menjadi pilihannya. Dengan satu hentakan ia melepas
kameja hitamnnya menyisakan sebuah kaus oblong putih, dilipatnya lalu ia taruh
di atas meja beserta kamera dan HT-nya.
Beberapa orang berkameja sama berlalu-lalang dan menyapanya.
Jemarinya dengan lincah memasang sebuah earphone pada gadget kelabu itu. Begitu
rekaman MP3 itu berputar, wajahnya
tampak mengernyit. Tapi tak lama ekspresinya melunak, senyum kecil tampak
terbesit di pipinya. Tatapan matanya sangat teduh, bagai sedang mengingat
sesuatu yang berharga.
Gadis itu terkekeh, tanpa sadar ia sudah
terlanjur berenang ke masa lalu.
***
Waktu
itu bulan September, di Bandung sedang musim hujan. Hari itu begitu panas dan
menyebalkan untuk seorang gadis berkacamata yang sedang mengoprek kameranya
dengan wajah kesal. Beberapa kali wajahnya ditekuk bahkan kedua alisnya hampir
saja bertautan.
Matanya melirik kesal ke pojokan kelas.
Sekumpulan anak laki-laki sedang bercanda dengan volume yang keras. Tapi, bukan
itu yang membuatnya kesal dan terus menerus mematut layar kameranya. Barang
kali itu seorang murid yang setelah kegiatan belajar-mengajar berlangsung
sekitar satu bulan, ia baru menampakkan batang hidungnya.
Dalam hatinya ia berdoa semoga anak laki-laki
itu tidak jadi masuk ke kelasnya, namun seperti biasa, ekpektasi tidak pernah
sesuai dengan realita.
Pagi itu dengan senyum sumringah ia mencoba
membidik dari tangga di dekat kelasnya ke arah lapangan. Awalnya ia tidak
menyadari sesuatu dari hasil bidikannya, sampai ia memperbesar foto tersebut.
Seseorang yang mungkin sudah ia masukan ke dalam black-list orang-orang yang harus dihindari, sedang tersenyum
hormat kepada seorang guru senior. Mood-nya
langsung hancur seketika. Wajahnya muram seharian.
Jemarinya dengan kasar mencabut pensil yang
nyasar, menyangkut di gumpalan rambutnya. Sambil berbalik ke belakang, ia
menghardik siapapun yang merasa melempar pensil sembarangan ke kepalanya.
Laki-laki dengan wajah oriental yang duduk
tepat di belakangnya, meringis sambil terkekeh, ternyata ia pelakunya. Ia
berjanji akan meminta maaf jika saja si Gadis mau menyebutkan namanya. Namun
permintaannya tidak digubris, gadis itu langsung melengos dan berusaha sibuk
dengan urusannya.
Merasa diabaikan ia lalu berdiri dan berseru
kepada seisi kelas sambil menyisir rambut dengan jemarinya. Ia tidak banyak
bicara, hanya melontarkan pertanyaan sederhana, “Siapa nama cewe yang duduk di
depan urang yang pake kacamata?”
Tak perlu waktu lama untuk mendapatkan
jawabannya, seorang perempuan yang baru kembali dari toilet menjawab sambil
berjalan ke arahnya, “Panggil aja Rara, nama panjangnya...”
Belum selesai ia menjawab, mulutnya sudah
disumpal dengan gumpalan kertas oleh sang pemilik nama.
“Hai Rara, aku Rama salam kenal,” kata
laki-laki itu sambil menjulurkan tangan kanannya.
Tanpa banyak berpikir gadis itu hanya berkata
singkat, “Modus.” Lalu disambut tawa seisi kelas dan geledek dari luar kelas.
Semesta bahkan ikut meledek keduanya.
Mungkin itu adalah perkenalan paling konyol
dalam hidup Rara dan Rama. Yang jelas, laki-laki yang selalu dikejar-kejar oleh
guru piket itu tidak berhenti melancarkan aksinya.
Terkadang kedekatan seorang perempuan dan
laki-laki sering disalah artikan oleh orang lain. Setelah melupakan insiden
‘Modus’, keduanya menjadi lebih dekat. Bagi Rama, Rara lebih dari sekedar teman
atau sahabat, ia merasa membuat Rara bahagia adalah kewajibannya dan dalam hati
kecilnya ia ingin perempuan itu selalu ada di setiap harinya. Tapi sayangnya,
bagi Rara, Rama hanyalah seorang teman dekat yang lebih mirip dengan radio, ia
tidak akan pernah berhenti mengoceh dan membuatnya tertawa, bahkan saat ada
guru sekalipun.
Semuanya hampir sempurna saat tahun baru akan
menjemput. Tapi nyatanya hari itu bagaikan sebuah putaran balik bagi semuanya.
Petang itu sebuah pesan singkat masuk ke
ponsel Rara, sore tadi acara class
meeting baru saja berakhir, siswa tinggal menunggu waktu pembagian rapot
sebelum berlibur. Tidak pernah ada kata ‘Hai’ tanpa kata ‘Selamat Tinggal’.
Untuk terakhir kalinya gadis itu membalas pesan singkat untuknya.
Rama, dirinya bukanlah rama-rama yang bebas
terbang ke manapun ia mau. Ia hanyanya seorang anak lelaki yang sama seperti
lelaki pada umumnya, terobesi oleh hal yang sama dan mengejar hal yang tak jauh
berbeda. Layar ponselnya berisi ratusan balasan dari gadis yang mungkin ia
cintai, apakah tidak terlalu naif bagi seorang anak sekolah menengah untuk
memikirkan tentang cinta?
Belakangan ia mulai berubah, tidak lagi ada
acara dikejar guru piket karena seragamnya tidak sesuai, kehadirannya hampir
sempurna, banyak sekali hal yang berubah darinya. Hal itu semata-mata untuk
membuat sang pujaan hati melirik. Tapi, apakah sekarang terlalu dini untuk
memikirkan masalah rasa?
Yang jelas, kini keduanya telah menanam
sebuah bibit yang sama, yang suatu hari akan tumbuh besar dan melahap keduanya
tanpa bersisa.
Keduanya terikat dalam gumpalan benang merah
yang entah di mana ujung pangkalnya
***
Sudah
tigapuluh menit hujan turun, tak lama setelah MC memberi pengumuman tetesan
pertama jatuh juga dan terus bertambah deras. Rara terjebak sendirian di area backstage. Kebanyakan orang sedang
berkumpul di area bazzar dan masjid sekolah, kebanyakan panitia sedari tadi
beristirahat di ruangan osis. Awalnya ia tidak terlalu peduli dengan hujan, ia
malah senang. Sampai akhirnya ia merasa lapar dan menyadari bahwa ia sudah
melewatkan makan siangnya tadi.
Sangat disayangkan, area ini begitu steril,
sampai tidak ada sebotolpun air minum. Ia mencari-cari payung namun tak kunjung
temu.
Paling cepat hujan akan mulai reda sekitar
tigapuluh menit lagi. Tapi perutnya sudah meraung-raung sedari tadi dan itu
artinya tidak ada kata menunda. Dengan semua sisa kewarasan yang ia punya, ia
membentangkan kamejanya lalu menata satu-satu barang elektroniknya di atas
kameja itu. Jemarinya dengan lihai membungkus barang-barang itu, jadilah sebuah
gumpalan hitam yang lumayan berat.
Gadis itu berjalan pelan ke samping panggung
lalu menengadah. Rintik-rintik hujan turun lumayan deras membasahi wajahnya,
tapi ia malah tersenyum. Ia menarik nafas perlahan, mengumpulkan semua
kenekatan dan mengambil ancang ancang untuk berlari secepat mungkin ke arah
bazzar yang tertutup tenda.
Nafasnya memburu, ia membuat langkah
pertamanya menerobos hujan, dipeluknya erat-erat gumpalan hitam berharganya dan
mengerahkan semua tenaga yang masih ada untuk berlari secepat mungkin.
Tetes-tetes air mulai menembus kaus putihnya, sedikit-sedikit rambutnya mulai
basah, tak akan lama lagi ia akan mirip dengan orang yang baru saja selesai
keramas.
Lima belas meter lagi menuju bazzar langkah
kakinya terhenti, tubuhnya hampir limbung, cengkramannya pada barang bawaanya
itu makin kuat dan hujanpun berhenti. Seseorang menarik kausnya dari belakang,
membuat perempuan yang sudah mandi hujan itu mengerem mendadak lalu berbalik.
Rara hapal betul siapa tangan yang
menghentikan gerakan yang sering ia sebut dengan ‘jurus ninja penembus hujan’
itu. Meski sudah hampir satu tahun berselang, ia selalu ingat wajah anak
laki-laki yang sedang memegang payung dihadapannya itu. Senyum tipis dan lesung
pipi juga kerutan di ujung matanya.
“Kamu kenapa sih, selalu main-main tiap hujan?”
Pertanyaan itu selalu ada dibenak Rama, setiap kali ia melihat gadis itu dengan
tidak pedulinya melintas di bawah hujan.
“Kamu kayanya tambah Cina deh, mukanya?”
timpal Rara sambil terkekeh.
Belum ada tanda-tanda hujan akan reda,
mungkin acara pentas seni akan ditunda lebih lama. Dua remaja yang sedang
melepas rindu itu tidak beranjak juga dari tempatnya. Tanpa disadari keduanya
menjadi tontonan banyak orang yang berteduh di bazzar.
Angin malam akhirnya berhembus dan
mengantarkan mereka ke area bazzar, juga mengundang Rara untuk segera mengisi
perutnya dengan makanan hangat. Langkah keduanya terhenti di stan baso tahu.
Setelah berbasa basi dan menebang rindu yang
sudah mereka tanam sejak lama, perempuan berkacamata itu akhirnya memberanikan
diri untuk menanyakan satu hal menganggunya sedari tadi.
“Pacar kamu gak ikut?”
Sambil mengunyah baso tahu, laki-laki itu
menggeleng. “Kita udahan.” Katanya setelah menelan makananya itu.
“Kenapa?”
“Dia layak buat dapet orang yang lebih baik,
haha. Sekarang aku mau fokus UN dulu, ah.” Balasnya santai.
“Songong banget, putus gara-gara fokus UN,
hahaha.” sambil menahan dingin Rara tertawa lepas.
Untuk sementara keduanya terdiam dan larut
dalam pikirannya masing-masing. Hujan sudah bertransformasi menjadi gerimis.
“Makasih buat semuanya, kamu gak pernah lebih
dari sekedar sahabat buat aku.” Rara menyodorkan MP3 Player yang sedari tadi menemaninya di balik panggung. Gadis
itu tersenyum manis dan menghilang di antara kerumunan pengunjung bazzar.
Ada
satu hal yang tidak Rama tahu selama ini. Dalam diam Rara selalu berharap hari
ini akan segera datang.*** (AZ)
Komentar
Posting Komentar
Nama :
E-mail :