Abstrak : Koala Kumal



Aku suka bukunya, ini sudah kali keduaku membaca buku garapan bang radit ini. Bahasanya ringan tapi artinya mengena, bisa di pahami siapa aja. Gaya bahasanya yang mengalir dan komedi renyah di setiap bab nya membuatku sangat menikmati bukunya.
Buku berwarna hijau ini masih berada di tanganku menunggu untuk dibaca lagi. Tapi makan siangku menunggu untuk dihabiskan juga. Sebenarnya ini farewell party yang di rahasiakan maka daritu tidak ada yang datang. Aku hanya bilang minta ditemani makan siang di sini, iya di kantin, kantin sekolah orang. Kampus yang terletak di jalan ganesha ini punya kantin yang sudah jadi favoritku sejak bertahun tahun lalu. Aku dari jatinangor main ke ganesha, ya kesanya mahasiswa nyasar.
Sudah 15 menit sejak pesan terakhir Adit aku terima. Ya, ane ke sana, tunggu aja.
Begitu katanya. Jadi aku hanya menuggu saja, kasihankan kalau aku pergi dia datang. Lagi pula mobil travelnya baru berangkat jam 2, ya kecuali delay hahaha. Ha ha ha, semoga tidak.
Selain murah makanan di sini juga enak, makanya kantin ini jadi favortiku sedjak lama. Oke ga usah pake ejaan lama. Entah sejak kapan aku merasa hampir setiap orang di sini memandangiku aneh. Aku menegak jus jeruk yang dinding gelasnya sudah mulai dihiasi bulir bulir air, kedinginan. Sensasi dingin menjalar di seluruh tenggorokanku. "Segar." gumamku
"Apanya yang seger?" katanya.
"Eh, man nhe kira ente ga jadi ke sini." seruku
"Tadinya sih kaga mau, cuma kasian ente sendirian, hahaha."
"Jahat banget lo. Hahaha."
"Suram banget ente, mau ke mana? Rahmatullah?"
"Kampret."
"Ya abisnya, koper item, backpack item, sepatu item, kameja item, celana item kacamata framenya item pula."
"Hahaha, pantesan. Pada ngeliatin nhe dari tadi."
"Jadi, mau ke mana sebenernya ente?"
"Cuma mau ke Jakarta, balik lagi beberapa tahun kedepan."
"Loh, kenapa ?"
"Karena aku mau merantau, hahaha."
"Ih, serius. Ane mau ke Jakarta juga sore ini."
"Hahaha, ko bisa sama jangan jangan kita jo.."
"..."
"Jomblo."
"Ente aja kali, hahaha."
drrt. drrt.
Handphone ku bergetar, ada panggilan masuk, dari travel yang akan mengantarkanku nanti.
Halo ya, saya sendiri. Ada apa?
...
Loh, mba kok bisa?
...
Tapi mba, ini gak bisa di cancel acaranya.
...
Masalah uang gampang mba, gak kembali juga gak apa apa. Tapi masa saya ga jadi pergi?
...
Ya udah deh mba, makasih udah kasih tau.
"Kenapa cuk?"
"Travelnya ada problem, jadi ane gak bisa berangkat sekarang." jawabku bimbang
"Ane juga mau ke Jakarta sih, sekitar setengah tigaan atau jam tigalah." kata Adit menggantung
"Oh, ngapain ke Jakarta?" tanyaku, tanganku sibuk mengaduk aduk sisa es batu di gelas.
"Ada workshop nanti malem, sama pameran juga. Ya itung itung jalan jalan sih. Gimana?"
"Apanya yang gimana?"
"Ya ente jadi berangkat gak ?"
"Gak tau. Tapi yang pasti gue harus udah di Jakarta besok jam 7 pagi."
"Mau ikut ane gak?"
"Seriusan ga? Gak mau nhe kalau sama anak ITB yang lain" tanyaku sinis
"Seriuslah, mau ga? Ane sendiri kok."
"Ya udah lah, kapan lagi nhe nebeng. Hahaha."
"Yo wis, ane solat dulu, ketemu lagi di sini yo. Mau solat bareng ga?" tuhkan jawanya keluar, untung sedikit, mana ngerti aku kalau dia ngomong jawa banyak banyak.
"Nhe lagi engga."
"Oh ok." Aku menegak sisa sisa es batu yang sudah mulai mengecil karena mencair.
Aku mengingat ingat barang yang aku bawa; baju, alat mandi, obat, kaos kaki, sendal, jaket, dry box, koper, kamera, laptop, pen tablet, agenda, note, persediaan pulpen, charger, travel adaptor, dompet, pasport, tiket pesawat. Ok, rasanya tidak ada yang ketinggalan. Mungkin kalian sedang membayangkan mana bisa aku membawa barang sebanyak itu di tas dan koperku. Hmm, mudah saja aku melipat semua pakaian sekecil dan serapih mungkin, lalu memasukannya ke dalam dry box, sisanya aku taruh diluar dry box sepadat mungkin untuk menutup kemungkinan dry boxnya pecah saat di masukan bagasi. Sedangkan di backpack, aku membawa tas kamera sekaligus jadi aku bisa menaruh dua buah charger di situ juga note ku. Laptop aku taruh di bagian paling belakang dan sisanya aku taruh sedemikian rupa agar muat dan juga aman.
Hmm, Jakarta. Aku hanya akan berada di sana untuk semalam saja. Esoknya aku akan melayang ke London, hm, awalnya ku kira mustahil tapi ternyata ini benar benar terjadi.
"Oy, ayo berangkat." seru Adit.
"Yo, okay." aku berdiri mengendong backpacku, tangan kiriku meraih koper dan menariknya keluar dari kantin. But wait, i think i forgot something. "Bukuku!" aku kembali lagi ke dalam dan tampat sebuah buku hijau terkapar di atas meja yang sedikit berminyak itu.
Ku raih buku tersebut dan segera menuju ke mobil Adit yang terparkir di depan kantin.
"Sini Adit bantu." Ia mengambil koperku dan menaruhnya ke dalam mobil.
"Eeh, gue juga bisa kali sendiri."
"Duduk depan." Katanya singkat. Sungkan juga sih sebenernya, kita gak kenal deket banget, apalagi sampe kepikiran ikut nebeng gini. Huh. Gara gara travel kampret.
Aku menaruh backpack di tengah. Di samping sebuah hardcase dengan ukuran yang lebih besar dari ranselku itu.
"Jadi? Gue di anterin sampe mana nih?" Tanyaku.
"Terserah aja mau sampe mana."
"Serius ih."
"U-huh." Ia hanya beruhuh sambil menyalakan mobilnya.
"Ih, nya."
"Ya udah, kalau kita sejalan ya ane anterin ente sekalian aja." Ia membawa keluar mobilnya dari area parkir. Jalanan di sini agak ramai, biasa sih.
"Adit dibayar gak nih nganterin Ifa ke Jakarta?" Katanya, mukanya sih serius ngeliatin jalan.
"Minta turun nih gue, hahaha."
"Hahaha."
Lalu hening. Kami bertemu dengan aliran kendaraan di bawab pasopati, lumayan padat. Mungkin aku bakal kangen sama ini nanti. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, tanganku bermain seakan akan menyentuh mobil mobil itu dari layar.
"Kenape lu cuk, kaya anak kecil aja. Hahaha." Adit menyindir.
"Gak papa. Kayanya bakal kangen deh sama Bandung." Jawabku malas
"Sombong amat, pira pindah ke Jakarta kaya bakal gak balik lagi. Hahaha."
Aku hanya menatapnya sekilas, tidak suka dengan pernyataanya tadi.
"Eh, sori."
"Ya udah gak papa. Semuanya juga bilang gitu. Temen, sahabat."
Keheningan kembali datang. Mobil Adit terus melaju ke depan,lalu berbelok kanan ketika menemukan permulaan pasopati. Seperti hari biasanya pasopati cukup ramai, tapi cenderung lenggang. Membayangkan tidak pulang untuk kurang lebih empat tahun seperti cukup menyakitkan. Banyak kekhawatiran muncul silih bergantinya waktu, semakin dekat keberangkatan semakin ragu aku. Tapi sebenarnya aku pun merasa senang hari keberangkatanku tinggal sehari lagi. Aku meremas tanganku yang mulai berkeringat. Beberapa kali aku mengecek smartphoneku, berharap ada notifikasi, berharap ada yang peduli aku akan pergi dalam diam.
Tak perlu waktu lama untuk sampai di akhir jalan. Tadi lenggang sekarang mulai memadat. Adit menyalakan radio. Memutar musik -mengusir keheningan.
"Ane kira kalau ente ikut gak akan sepi, tau nya sama aja."
"Haha." aku tertawa sinis. Ya, memang aku memang tipikal orang yang sinis.
cinta tak mudah berganti
tak mudah berganti jadi benci
walau kini aku harus pergi
"Plis deh, kenapa harus lagunya itu sih." komentarku, pedass.
"Haha, mana ane tau, tanya penyiarnya aja sono."
Aku mendengus.
"Hari pertama ya." katanya dengan ekspresi sok cool.
"Kampret, hahaha." Aku mengdengus agak kesal.
Kubuka casing smartphoneku, sebuah kertas usang berwarna putih gading yang sudah berubah keabuan terjepit selama bertahun tahun di antara casing dan smartphone, walau aku berganti smartphone dan casingnya beberapa kali, kertas usang ini masih setia. Dan kali ini ia akan aku ajak mengitari separuh dunia. Lipatan kertas usang itu aku buka perlahan- ragu. Akhirnya aku malah meremasnya.
"Nisa tau lo bareng gue?"
"E-heh."
"Iya apa engga?" Aku meminta penjelasan
"Dia tau kok ane mau ke Jakarta."
"Tau bareng gue?"
"Ga."
"Aish." Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Macet. Aku merasa bersalah. Aku menekur. Hah.
"Udah ga usah dipikirin, gak apa apa kok. Dia juga lagi jalan bareng anak anak."
"Iya. Ok. Ya. Udah. Kalau. Gak. Apa. Apa." Aku benci jika harus meninggalkan masalah, aku bukan tipe yang suka lari dari masalah.
Kertas usang itu masih digenggaman tanganku, mulai basah keringat. Hampir butuh sekitar 20 menit untuk menembus kemacetan sebelum akhirnya bisa sampai di gerbang tol.
Rasanya tak karuan, senang juga ragu.
"Kenapa lo cuk?" Tanyanya tiba tiba sambil mengambil karcis tol.
"Enggak" jawabku sekenanya
"Ane udah lama pacaran sama Nisa, udah hampir 7 taun. Gak mungkin ane gak ngerti cewe, haha."
Aku memalingkan wajah, huh. Aku lelah. Berkali kali memikirkan tentang ini. Bodoh memang kesanya.
"Nanya serius nih ane, ga kenapa kenapakan?" Tanyanya lagi sambil terkekeh
"Dosa nih ane kalau ente sampe kenapa kenapa." Ia berkata, lagi. Punggung tanganya mendarat di dahiku. Teg.
Hah.
"Gak panas tuh." Ia berkata dengan santainya dan memindahkan tangan itu.
"Huh, kan aku udah bilang, gak apa apa Adiit..."
"Ya bisi aja, lo sakit. Nanti kalau sakit di Jakarta gimana?"
"Hehe."
Jalan datar abu yang sama, plang penanda kilometer yang masih setia, pagar kokoh berdiri tangguh. Semuanya masih seperti itu dari dulu, tidak banyak berubah.
Sebuah truk hijau melaju dengan kecepatan tinggi, menuju ke arah bandung. I dont mind whats happened with that fcking truck. Truk itu terus melaju hingga akhirnya ia menembut pembatas. I dont understand. Secepat kilat aku merebut kendali dari Adit, kubanting stir ke kiri. Mobil akhirnya berubah haluan ke kiri sebelum akhirnya berputar putar dan menabrak pembatas jalan. Truk tadi nyasar entah ke mana. Nafasku memburu. Tapi Adit santai santai saja. Ia mengibas ngibaskan tangannya di depan wajahku. What the hell did he thinking? We're on an accident.
Samar samar akhirnya ia bersuara.
"Oy, oy. Udah sadar. Woy!" Ia menjentikan jarinya di telingaku.
"Hah!" Aku kaget, kesadaranku kembali pulih. Huft.
Mobil Adit berhenti di sisi jalan tol.
"Kenapa hah? Jangan jawab gak, aku gak kenapa kenapa kok." Ia menanyakan hal yang sama lagi. Dadaku masih naik turun. Nafasku masih tidak jelas. Aku menyandarkan kepala ke jok mobil, mengambil nafas dalam. Adit membuka seatbelt ku, menawarkan sebotol air mineral entah dari mana.
Keringat mulai bercucuran. Aku masih panik, atau mungkin bertambah panik.
"Honestly i want to ask some thing. Em... are you using?"
"Hah?! What? Seriously? Arkh. You gotta be kidding me, dude. Am i looks like a user?"
"Em.. kinda."
"No, For God Sake no." Aku menegak air mineral yang disodorkan Adit.
"Um.. i ... i just ah. Why its hard to tell." Aku frustasi.
"Okay. Cerita aja kalau udah enak, kita sambil jalan. Misalnya ga enak udah istirahat aja, sakit nanti."
"Punya aspirin? Obat flu? Obat tidur atau apapun? I dont know whats happening."
"Ada sih di laci cari aja. Okay just calm down your self for a while, got it?"
"Yeah, okay i get it." Aku mengangguk. Ku buka laci dan menemukan kotak p3k , di dalamnya ada beberapa obat obatan. Aku menemukan obat flu, kalau aku tidak khilaf di dalamnya ada obat tidurnya. Mungkin itu bisa membuatku tenang beberapa waktu.
"Mendingan?" Tanyanya.
"Hahaha jadi inget iklan snikers." Kataku
"Baguslah, udah baikan. Pake tuh seatbelt. Bisi kenapa napa."
"Sip." Aku memasang seatbelt.
Semuanya terasa tenang. Oke. Aku tau sebabnya sekarang.
"Jadi kenapa?"
"Kurang tidur."
"Terus?"
"Over thinking disease."
"Ow."
"Sadness"
"How awful, hihi."
"Yeah."
"Then?"
"Oh ya. Seingatku kemarin malam aku selesai nonton Secret Life of Walter Mitty langsung nulis kaya orang kesurupan. Aku kurang tidur makanya."
"Lalu yang tadi?"
"It's a fusion. Hahaha."
"Great."
"Gabungan over thinking, kurang tidur dan lain lain. It's really really awful, teribble. Oh, i cant stand on it. Aku berhalusinasi..."
"Uhuh."
"Ada truk dari arah sebaliknya nabrak pembatas jalan terus mau nambrak mobil ente."
"Wow. Gile. Keren banget." Katanya sebelum pingsan.
"This is not real. Please tell me this is not real. LoL, are you dead?"
"Nope of course no. Just kidding." Ia kembali menyetir
"Sialan. Dikirain mati."
"HHahaha, sejak kapan ente mulai kaya gitu?"
"Hmm.. sejak lama hahaha. Terakhir yaa pas mau pengumuman SBMPTN, waktu itu ane berhalusinasi ane gak keterima dan tiba tiba kampusnya itu terbakar. Yaa padahal seaslinya, ane ada di kampus itu ngeliatin daftar yang keterima dan ane keterima, juga kampusnya gak kenapa kenapa. Hahaha."
"Your imagination is really cruel, dude."
"Yeah, bisa dibilang kaya gitu, deh. Btw, itu bawa hardcase ngapain?"
"Ooh itu... drone."
"Hwat? Seriously? Masih mainan drone sampe sekarang?"
"Yoi, udah hobi sih soalnya. Ini jugakan mau ke soeta."
"Seriusan? Sejalan dong?"
"Ngapain ke soeta? Jangan bilang mau jalan jalan?"
"Ya begitu kira kira."
"Inget. Oleh oleh buat Adit jangan lupa."
"Iya iya. Asal mau nunggu aja. Hahaha."
"Hahaha. Berapa lama?"
"Hm... empat taunlah. Hoho."
"Jalan jalan apa ngapain lama amat."
"Sekolah."
"Ooh."
"Hah? Udah aja gitu? Cuma oh? Gak mau ngomong yang lain apa?"
"Memang mau Adit bilang apa. Wih selamat. Wow hebat banget." Katanya mendramatisir.
"Cih."
Jalanan lurus masih menghadang. Lantunan monoton jalan tol terus berkumandang, layaknya sebuah nina bobo. Aku yang mulai lelah, perlahan terlelap. Semoga gak mangap, memalukan.
ADIT’S POV
Aku cukup bersyukur ia duduk di sampingku. Rupanya perjalanan ini cukup membosankan. Tak bisa ku bayangkan kalau dia tidak di sini.
Ia masih menggenggam smartphonenya.
Sebenarnya aku pun mulai mengantuk. Untungnya rest area tidak terlalu jauh dari sini. Yang spesial dari perjalanan di sore hari adalah, kamu bisa melihat pemandangan yang tidak bisa didapat di perkotaan.
Lama lama membosankan juga, mengendarai dalam diam. Sejak ia tertidur semuanya jadi sunyi. Yang ku dengar hanyalah dengkuran halusnya.
Yep! Di depan.
Aku memperlambat laju mobil. Berbelok ke kiri, masuk ke rest area dan berhenti di depan sebuah mini market.
Segan aku membangunkannya yang sedang tidur pulas. Akhirnya aku turun sendiri. Membeli dua kaleng kopi dan sebungkus rokok. Entah kenapa aku terpikir untuk membelinya.
Di sini cukup ramai. Senja sudah menjemput, sebelum terlalu larut aku harus sudah sampai. Jangan lama lama.
Ku taruh kresek tadi di dashboard.
"Hey, masih tidur?" Kataku
"Hmm?"
"Mau kopi?"
"Hah? Di mana ini?" Ia merespon sambil menggeliat
"Di rest area, bentar lagi masuk Jakarta."
"Oh." Kali ini ia mengucek ngucek matanya
"Mau kopi?" Kuulangi lagi pertanyaan tadi
"Em, boleh." Aku memberinya sekaleng.
Krek. Css. Kalengnya terbuka, udara yang terpendam di dalamnya langsung keluar.
Samar samar tercium aroma kopi. Mmm...
Ia langsung menegak kopinya, tanpa basa basi. Reflek akupun menegaknya.
Matanya masih kuyu. Tukang tidur.
"Masih kuat nyetir sendiri?"
"Iya masih lah." Jawabku asal
"Yang bener?"
"Bener."
"Ah masa?" Ia mulai mencibir
"Iya bener."
"Oh ya udah." Ia membuka jendela dan melempar kaleng kopi itu keluar, melayang tepat masuk ke tong sampah.
"Di mobil juga ada deh tempat sampah di tengah."
"Oh iya, hehe." Ia hanya terkekeh, lalu larut dengan smartphonenya.
Aku membuang kaleng kopi tempat sampah di luar, sekalian kubuang sampah sampah di mobil.
Saat aku kembali, ia menatapiku. Terus. Dalam. Lurus.
"Ngerokok ente?" Tanyanya datar, wajahnya juga datar.
"Eng, iya."
"Oh, hahaha. Lucu ya dulu ente orang yang mengkampanyekan bahaya ngerokok di sekolah sekarang ente malah ngerokok. Lucu." Aku tidak mengerti itu sebuah lelucon atau sindiran, sekali lagi wajahnya masih tanpa ekspresi.
Aku akhirnya menyulut sebatang rokok. Ia melirik dengan ujung matanya, menghela nafas.
"Wanna try dude?" Aku menyodorkanya sebatang.
"Why not?" Ia mengambilnya lalu menyulutnya.
Batangan putih itu terselip diantara bibirnya. Ia melakukannya seakan akan sudah melakukan hal itu ribuan kali. Hembusan tanpa cela, ia bahkan tidak batuk sejak pertama menghisapnya.
"First time?"
"Uh yeah, why?"
"So perfect for the beginner."
"Uhuh."
"Okay, come on. We gotta go."
"Alright." Ia mematikan rokoknya dan membuangnya asal. Aku menyalakan mesin mobil.
IFA’S POV
"Wanna drive?" Tanyanya
"Em, uhuh. Ngantuk yee"
"Sort of."
"Hahaha, sudah kuduga."
Adit turun dari mobil, aku berpindah ke jok sopir. Yay.
"Alright baby, lets make it." Seruku
Ku mundurkan mobil perlahan, lalu membelokannya. Membuatnya melaju hingga akhirnya keluar dari rest area.
Ahh. Udah lama banget gak nyetir di tol. Aku bahkan sudah hampir lupa bagaimana rasanya.
Jalan bisa dibilang sepi, hanya satu dua mobil pribadi. Sisanya truk besar di lajur kiri.
Okay, if this is what you want. Make it fast baby.
Aku memacu mobil dengan kecepatan 60KM/ jam. Yeah great. 70KM/jam. Alright, this is the moment. 80KM/jam.
"Whoah, whoah, whoah. Gak terlalu kenceng?" Seru Adit
"Kurang sih kayanya. Tapikan batas maks cuma 80, hihihi."
"Greget, jir."
"Uhuh."
Mentari sudah menghilang dari horizon. Kuperlambat laju mobil, ikut mengantri seperti mobil mobil lain untuk keluar dari gerbang tol.
Drrt!
Smartphone Adit bergetar. Ia menaruhnya di atas dashboard. Aku mengambilnya. Ada pesan masuk, tapi Adit malah tertidur.
"Hey, uy, oy. Cuk. Ada pesan masuk nih." Aku membangunkannya sekaligus memberikan smartphonenya. Tapi aku tetap fokus ke jalanan.
"Uh?" Ia terbangun lalu mengambil smartphonenya.
"Ada notif."
"Oh." Ia kembali tertidur.
Tukang tidur. Huh.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin hidup pula suasananya, maka dari itu semakin padat dan ramai. Mataku tidak terlalu terbiasa dengan gemerlap ibukota, silau. Kiri dan kanan hanya gedung pencakar langit. Tol dalam kota cukup padat. Aku menyambungkan smartphoneku dengan tape mobil, memutar musik dengan volume kecil. I dont have any idea what music to play, so i just open Mix Radio app.
Lalu munculah lagu Night Changes punya onedirection. Tiba tiba aku ingat sesuatu, temen temenku yang nge fans banget sama boyband ini. Mereka fangirling di mana mana. Karena teman temanku ada di mana mana, maka aku harus menerima resiko ini. Dikit dikit wandi, dikit dikit wandi. Hahaha. Can you imagine how crazy i am? Di sekolah, di grup, di tempat les, study tour, bukber, freeclass, jumsih, dan di mana mana.
Stream. Begitulah mereka menyebut aliran. Ya, aliran kendaraan di ibukota seakan akan tak pernah berhenti. Aku mencari lajur alternatif agar tidak terlalu lama terjebak di jalanan.
At least butuh sekitar 3 jam untuk sampai ke daerah husein sastranegara. Aku tidak terlalu mengingat keadaan jalanan, aku lebih fokus mencari hotel tujuanku. Jam menunjukkan pukul 8, kami berangkat lebih cepat dari rencana.
Kuparkir mobil di depan hotel.
"Huf, sampe juga." Seruku. Sekarang masalah baru muncul, bagaimana membangunkan Adit.
Aku guncang tubuhnya pelan, tidak ada respon. Kubuka kelopak matanya, gak bangun juga. Udah digaplok juga kaga bangun. Ok, kalau itu mau ente.
Aku mendekati wajahnya dan berhenti di dekat telinganya lalu berbisik 'oy, ada nisa oy, bangun cepetan, oyyy'
Dan voila, aku berhasil membuatnya terbangun.
"Mana?" Serunya.
"Hahaha, kagak kagak. Canda doang, bangun gih udah di depan hotel nih."
"Amaris?"
"Yoi. Gue duluan ya." Aku turun dari mobil, menggendong backpack dan menarik koperku keluar.
Hoam. Aku cukup mengantuk untuk membawa masuk semua barang ini ke hotel yeah. I walk very slow. Ya akhirnya aku sampai juga di depan meja resepsionis.
"Selamat Malam. Selamat Datang. Ada yang bisa saya bantu?" Sapa seorang resepsionis.
"Eh ya, kamar atas nama Ifa."
"Sebentar." Ia menghilang di balik mejanya, lalu kembali dengan sebuah kartu di tangannya.
"710. Di lantai 7. Liftnya ada di sebelah kiri, ada yang bisa saya bantu lagi?" Ia memberikan kartu tersebut.
"Oke, makasih mba." Aku menyambut kartu tadi, rupanya dua buah kartu. Aku berjalan ke arah lift, menekan tombol naik. Sekitar 5 menit aku menunggu, lift terbuka. Dua orang pria berjas keluar dari lift, mereka memberikan senyum tipis padaku. Aku masuk sendiri.
Ku masukan kartu sebelum aku menekan angka 7, lantai tujuanku. Seperti hotel hotel lain di Jakarta di sini tidak ada lantai 4 ataupun 13.
Ting! Lift berhenti di lantai 5, seorang pria berwajah cina muncul di depanku memberikan senyum tipis sambi sedikit membungkuk, reflek aku mengikutinya. Ia akan menuju ke lantai 3, meeting room. Hmm, sudah ku duga.
Ting!
Akhirnya lift berhenti di lantai 7. Aku keluar dari lift, kutarik koper perlahan. Dan berbalik, memberi senyum.
Aku berbelok ke kiri. 701 - 710. Kamarku ada di paling ujung. Hening. Di ujung lorong ada sebuah jendela besar. Pemandangan Jakarta di malam hari. Pintu kayu berwarna cokelat tua dipernis dengan baik. Serat kayu dan warnanya terjaga baik. Sebuah knop berbahan alumunium diberi kesan doff menghiasi. Ku masukan kartu ke lubangnya. Lampu hijau menyala, kucabut kartu lalu kuputar knopnya. Ya ruanganya memang tidak terlalu besar ya tapi tak apalah, yang penting aku bisa beristirahat.
Drrt! Smartphoneku bergetar, entah karena mengantuk atau apa getarannya terasa kencang sekali aku duduk di ujung kasur.
Adit: kamar berapa?
Ifa: 710
Adit: oh, ane 708
Ifa: ok, sebelahan y
Adit: y
Ifa: sip
Aku melempar smartphoneku ke kasur, merebahkan diri. Aah, aku kangen banget. Kasur...
Sebuah meja kerja berdiri di depan kasurku. Di dekat pintu ada walk in closet di situlah aku menaruh back pack dan koperku. Di seberangnya ada pintu ke kamar mandi, hanya ada sebuah shower, closet dan washtafel.
Aku menyalakan pendingin ruangan. Di ujung ruangan ada sebuah pintu menempel dengan tembok, pintu ke kamar 708. Di bagian paling ujung ruangan tembok di gantikan dengan kaca tebal.
Ifa: udah di kamar?
Adit: blm, msh di lift
Ifa: oh ok
Adit: knp?
Ifa: nnti aja klo udh sampe
Adit: ok
Aku masuk ke kamar mandi. Mencuci muka. Memandangi seisi kamar mandi. Akankah apartemenku lebih baik atau lebih menyedihkan dari kamar hotelku saat ini. Kantung mata menggantung tepat di bawah mataku, warnanya gelap. Menyedihkan sekali. Smartphoneku kembali bergetar.
Adit: buka pintu kmr ente.
Ifa: ok
Aku membuka pintu kamar keluar, tapi tidak ada apa apa. Heuh.
Ifa: udah
Adit: yg satu lgi mskdnya
Ifa: oh hehe




Ia berdiri di ambang pintu dan tersenyum. "Ikut yuk." Katanya singkat
"Ke mana? Hoam..."
"Ke soeta, main."
"Ngantuk euy."
"Ya, udah istirahat aja."
Aku mengangguk, lalu menutup pintu. Begitupun Adit. Ku berjalan gontai ke arah kasur. Menghempaskan diri ke atasnya. Ah. Bayang bayang gemerlap ibukota menghantui dari luar jendela yang gordengnya belum aku tutup. Rasanya aku sudah terlalu mengantuk untuk berjalan ke sana. Kudengar Adit menutup pintu kamarnya, derap kakinya masih terdengar saat ia berjalan keluar, lama lama lenyap. Tinggal aku dan sunyi di dalam bidang ruang berbentuk kotak ini.
Adit. Aku tertawa kecil. Bagaikan sudah di hyperlink setiap muncul kata Adit aku selalu ingat Azuki bukanya Nisa. Hahaha, seakan akan sudah tak bisa dirubah lagi. Hoam. Ku rasa ini saatnya aku tidur. Ku rasa aku tertidur. Sampai akhirnya aku terbangun karena mendengar ketukan pintu yang terus menerus. Ahh, Adiit.
Terpaksa, dengan segala kesadaran dan kewarasan yang ku punya, ku buka pintu kamarku yang langsung tersambung dengan kamarnya. Lagi lagi ia berdiri di ambang pintu. Ia mengangkat sebuah kantung kresek setinggi kepalaku, dia pikir aku pendek huh? Aish.
"Huh?" aku memberinya tatapan apa maumu, cepatlah aku butuh tidur.
"Mau kopi?"
"Hah?"
"Kopiii..."
"grook,"
"Heh."
"Iya."
"Mau kopi?"
"Boleh."
"Masuk."
Ia menyuruhku masuk. Aku benar benar tidak sadarkan diri sekarang. Ku raih sekaleng kopi darinya. Dan. Hitam.
***
Aku menemukan diriku meringkuk di ujung kasur. Apa yang terjadi? Mana kacamataku. Siapa pria di sampingku. Oke aku kacau, tidak tidak tidak. TIDAK.
Ku tarik nafas panjang. Baik, itu cuma ilusi. Mari ingat ingat. Ua, ini kamar Adit. Oke. Aku ke sini tadi malam. Hendak mengambil kopi. Dan, bagian itu. Ya, aku benar benar kehilangan kesadaran. Terlalu mengantuk. Segera kuambil kacmataku di atas nakas. Ku mencari sesuatu. Setiap hotel harus punya. Akhirnya aku menemukannya di dalam laci. Sebuah note dan pulpen. Ku tinggalkan sebuah pesan di situ.
Au revoir,
tu Madafaka. Hahaha
F
Aku kembali ke kamarku, menutup pintunya dan pergi mandi. Setelah itu ku bereskan semua barang barangku. Kututup pintu, menghela nafas. Tempat terakhir ku tinggal di Indonesia buat saat ini. Hahaha.
Aku melaju ke bandara menggunakan taksi. Jalanan cukup lengang, tapi sesampainya di bandara suasana berubah menjadi ramai. Berhubung keberangkatanku masih sekitar satu jam setengah lagi aku santai santai saja.
Banyak sekali orang lalu lalang di sini. Sedikit memusingkan memang. Karena aku lupa sarapan di hotel, aku memutuskan membeli makanan cepat saji di sini. Ya aku membeli sebuah es krim cone. Buatku itu sarapan heuheu. Sisa waktu aku habiskan untuk berkeliling. Sampai akhirnya satu jam menuju keberangkatan aku memutuskan untuk segera menunggu di lounge dan menyerahkan bagasi.
Tapi, tetap saja aku berjalan santai. Terlalu dramatis kalau harus ada adegan lari lari takut ketinggalan pesawat kaya di film home alone. Semakin dekat dengan tempat tujuanku semakin sedikit orang yang lalu lalang.
"Ooy, tunggu... hosh hosh..." muncul sebuah suara yang memintaku berhenti.
"Hah?" Aku berbalik.
"Kopi lo ketinggalan." Ia menyerahkan sekaleng kopi padaku.
"Eh, makasih."
"Sekarang?"
"Iya, bentar lagi."
"Hati hati, jangan lupa oleh oleh " katanya mengingatkan.
Aku hanya mengangguk dan mengacungkan jempol dan berlalu.
"Eh, btw lo sendu amat hari ini?" Tanyanya tiba tiba, ia memandangiku dari atas sampai ke bawah.
"Hehe, pengen aja." Kataku langsung berlalu. Aku memang sengaja memakai turtle neck sweater warna abu misty dan jeans warna cream pudar.
Kami berjalan bersebrangan. Aku untuk pergi. Adit untuk kembali.
Lamat lamat yang terdengar hanyalah kicauan manusia yang sedang mengantri masuk pesawat lewat belalai panjang hahaha. Derap kaki seakan menjadi pengiring, ritmis dan dinamis. Aku menikmatinya. Kubuka kaleng kopiku dalam perjalanan masuk ke pesawat, tapi sayangnya itu yang membuatku tidak memperhatikan jalan. Maka alhasil aku menubruk seorang pria yang berjalan di depanku.
"Eeh, sori mas." Untungnya gak tumpah.
"Ga papa. Lebih hati hati nanti." Begitu katanya. Aku mempercepat langkahku, malu.
Koper sudah aku serahkan sebelum masuk pesawat, maka aku hanya membawa backpack ke kabin. Kuatur smartphoneku ke mode pesawat, ya walau sim cardnya sudah kucabut sebelumnya. Biar tinggal masukin nomor sana. Aku duduk tepat di sebelah jendela, dan satu hal yang ingin aku lakukan sekarang adalah memotret dari sini sebelum take off. Heuheu.
Sial, this is another awkward moment. Ternyata mas mas tadi yang sempet gue tabrak duduk di sebelah. Kampret banget dah...
"Yang tadi kan?" Tanyanya menunjuk nunjuk wajahku.
"Iya, hehe. Sori ya."
"Gak papa kali, semuanya juga pasti pernah gitu. Hahaha."
"Hehehe." Awkward abis.
Pesawat memulai untuk take off, para pramugari menginstruksikan agar menggunakan seat belt. Dan sekarang mereka sedang memeragakan cara melakukan penyelamatan jikalau terjadi keadaan darurat.
"Tama." Katanya singkat memperkenalkan diri.
"Ifa." Balasku mantap sambil menyambut tangannya.
Ia mengangguk anggukan kepalanya.
Tama. Ta ma. T a m a. T ama. Tam a. Taa maa. Hmmm... Siapa ya?
"Pernah ketemu?" Kata kami berbarengan.
"Hahaha."
"Apa kabar?" Tanyaku.
"Alhamdulillah baik, kamu?"
"Ya gitu weh, hehe."
"..."
"Hahaha..."



Kau tahu, ia adalah orang yang pernah membuatku jatuh hati beberapa tahun lalu. Kami kehilangan kontak dan yaa, kami bertemu di sini. Aku merogoh saku celanaku dan secarik kertas usang jatuh.

kita emang gak seumuran tapi, bolehkan kita sahabatan seumur hidup???
 
Naif memang, tapi tulus kurasa.*** end.

Komentar

Postingan Populer