5Sahabat3Cinta1Dunia part6 : ENDING



Jam menunjukan pukul 7 malam.

Getar handphoneku membuatku terkaget. Telepon dari nomor tak dikenal. Aku memberanikan diri untuk mengangkatnya.

Halo
...
Halo
... seorang di ujung sana tak kunjung menjawabku
HALO
Iya, halo
Maaf dengan siapa ???
Eh, ini Anka
Anka? Anka siapa?
Saya teman Emil
Ada perlu apa ya?
Saya minta anda, dateng ke rumah sakit sekarang... katanya frontal dan langsung terisak
Ya ampun, ada apa?!
Saya minta anda cepet ke sini... iapun mengakhiri telepon

Mulutku masih menganga. Ketiga temanku menatapku aneh. Handphone yang semula ada di genggamanku seketika jatuh ke lantai. Hatiku tak keruan.

“ Yan, mana kunci mobil lo?” tanyaku cepat
“ Nih, napa sih ?” Ian memberikan kunci mobilnya.
guys, kita berangkat sekarang “
“ Mau kemana ?” tanya Lexa
“ Ga penting “ aku berjalan cepat ke arah mobil Ian, masuk kedalamnya dan mulai menstrater mesin. Di sampingku duduk seorang Irfan. Aku lalu memacu mobil Ian ke tujuan. Jalanan cukup lengang sehingga memungkinkanku untuk memacu mobil dengan kecepatan tinggi.

“ Woy, jangan ngebut ngebut dong, mobil gue ini “ pekik Ian yang duduk dibelakang dengan lexa. Aku hany terdiam dan memperlambat laju mobil – sedikit.

Kami akhirnya sampai, sebuah gate selamat datang menyambut kami. Ketiga temanku saling berpandangan heran.
Setelah memarkir mobil, kami berjalan menuju ke UGD. Seorang lelaki berbaju oranye dengan jaket jeans lusuh berdiri di depan pintu. Rambutnya acak acakan dan mukanya kusut,lalu ia menghampiri kami.

“ Kamu pasti Naldo kan, gue Sastra “ lelaki itu memperkenalkandiri dan menjabat tanganku
“ Tunggu, kenapa lo tau nama gue ?”
“ Terlalu panjang untuk diceritain sekarang, mending kalian semua ikut gue “
Ia memandu kami berempaat. Tak ada yang tahu persis tata letak ruangan di rumah sakit ini, maka tak ada yang tahu pula kemana kami akan di bawa, kecuali Sastra sendiri. Semabri berjalan aku melepas kacamataku dan menyematkanya dibaju.

Sastra lalu berhenti berjalan. Kami terhenyak. Kami kaget sekali ketika menyadari di mana kami berada sekarang.
“ ru-ru-ruang jenazah?” aku mencoba membacanya
“ maksudnya apa? Ngapain lo bawa kita ke sini ?” tanyaku
Sastra hanya terdiam. Ia menghela nafas.
“ gue harap kalian bisa tegar... dia harus pergi mendahului kalian- ia pergi dalam tabrakan” nafasnya tercekat. Lexa mulai terisak.
Aku memaksa masuk ke dalam ruangan. Sebuah jasad yang terbujur kaku dibalik kain putih. Tubuhnya penuh luka dan bekas darah. Aku tak dapat percaya. Ketiga temanku masuk ke dalam. Wajahnya yang dulu putih berseri kini berubah menjadi pucat. Belaian jarinya yang biasanya lembut kini hanya terdiam kaku. Hanya tinggal senyumnya yang ada. Dahulu senyum itu manis, tapi sekarang membawa kepedihan- pahit sangat.
“ Harusnya gue ga biarin lo pergi, Mil ?!” aku berteriak. Tapi aku tahu itu percuma.
“ Do, ikhlasin aja “ Irfan merangkulnya.
“ Mana biasa gue ikhlas, fan, dia orang yang paling gue sayang. Lo ga bisa rasain gimana kehilangan orang yang lo cinta?! Lo gabisa ?!”
“ Kita semua kehilangan ,Do. “ lexa menengahi.
“ Ikhlasin, Do. “ kini Ian yang menghiburnya.
Kulihat lagi wajahnya untuk terakhir kali. Tenang dan berawan.

***

Setelah pemakaman selesai, aku dan ketiga temanku masih terduduk. Aku masih sulit melupakannya. Ia pergi terlalu cepat. Semua kenangan yang ia bawa sekelebat muncul dalam benaku.
Kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang. Tak jauh dari makam mendingan temanku, ada seorang malaikat kecil seorang diri yang berjalan mendatangi kami. Matanya masih berkaca kaca. Tangannya bergemetar.
Mata itu, kacamatanya, wajah itu. Bukan, bukan. Ga mungkin dia. Aku berusaha menghilangan presepsiku itu.

“ Kalian temen Emil kan?” tanya
“ Iya, “ kini lexa yang menjawab. Aku masih tak percaya dengan penglihatanku.
“ saya anka, yang waktu itu nelpon kalian “
“ Ooh, tapi ... “ aku akhirnya berani akngkat bicara
“ iya, dari dulu banyak yang bilang sama almarhumah punya banyak kemiripan “
“ Pantes “ kata ian
“ Tapi, yang gue pengen tau kronologis kecelakaanya kaya gimana “ kata irfan tanpa basa basi.
“ gimana kalau kita ngobrol sambil makan “ tawar Anka.
Kami menyetujuinya. Ia mengajak kami makan di cafe tempat emil sering membawa kami ke sini lebih tepatnya cafe tempat kami terakhir kami nongkrong.

“ Jadi, gini. Tadi malem kita mau ketemuan buat motret di Lembang. Saya waktu itu ada di jalan menuju lembang, Sastra masih di daerah riau, trus almarhum dan Ega waktu itu janjian ketemu di satu tempat dan akhirny berangkat bareng. Saya ga terlalu tau itu... “
“ Terus gimana ?” Lexa penasaran
“ Trus, saya dapet kabar dari sastra kalau almarhum kecelakaan di daerah dago. dari inforamsi yang saya dapet waktu itu yang nyetir Ega, soalnya beberapa hari ini dia sakit sakitan terus, dia pernah pingsan beberapa hari yang lalu.” Katany mengakhiri cerita
“ Ya ampun, tapi dia ga pernah bilang apa apa toh sama kita.” Reply Lexa
“ Dia selalu kaya gitu, dia ga mau orang di sekitarnya khawatir, malah baru aja sadar dari pingsan dia udah nyetir pulang sendiri.” Lanjut Anka
“ Kalau kejadian kecelakaanya gimana ?” tanya Ian
“ Kalau itu, Sastra bilang itu kecelakaan beruntun, waktu itu dia salah satu saksi.”
“ Oooh...”
“ Kita ga nyangka sahabat kita dari kecil bakal pergi secepat itu...” kata irfan
“ kita semua memang ga pernah ada yang tau. Tiap kita ketemuan berempat dia sering bilang kaya gini ‘pada hakikatnya manusia pergi untuk berpulang,dia akan menemuimu suatu hari nanti di suatu tempat yang kamu ga bakal duga’ dia sering banget nulis puisi, dia ninggalin saya sebuah kotak. “
“ makasih buat informasinya, gue turut berbela sungkawa juga buat sahabat lo dan sahabat emil, Ega. “ kataku
“ Makasih juga. Kalian adalah orang orang yang beruntung bisa kenal lama banget sama dia. Dia itu orang yang ga mau berantem sama temen temennya, walaupun kita sering banget salah paham.” Katanya lagi
” kita seneng banget bisa ketemu sama lo, sekali lagi maksih yaa udah jagain dia. Kita pamit duluan ya.” Aku pamit pada anka.
“ Sama sama, hati hati di jalan yaa.”
***

“ Oh ya, sekarang kita ke rumah gue aja gimana? Kita buka kotak yang si emil kasih ?”
“ Lets Go “

Kamipun sampai di rumahku, kami langsung menuju kamarku. Satu tujuan, membuka kotak peninggalannya.

Aku mulai membuka tutupnya. Di dalamnya berserakan foto kami semua, dan helaian helaian kertas berisi puisi. Aku dan kawan kawanku yang penasaran menumpahkan semua kertas kertas itu di atas lantai kamarku. Dari semua kertas kertas itu ada satu yang membuatku penasaran. Sebuah kertas bewarna gading yang berisi tulisan tegak bersambung khas Emil yang kelihatanya sengaja dibuat jelek. Tulisan itu miring ke arah kanan, tinta hitam dari pulpen standard yang biasa ia pakai, semuanya mudah dikenali kecuali tulisannya. Jika dilihat lagi susunannya seperti sebuah puisi, sayangnya kertas itu terbagi menjadi dua secara vertikal.
Aku lalu menyimpannya di dalam laciku.
“ Dia pergi dengan bahagia dan meninggalkan kebahagiaan... “ Lexa membuat quotation
“ Betul lo “ timpal Irfan
“ Eh, kalian kan besok kuliah coy jangan pulang telat telat “ sahutku
“ Oh iya, yuk ah bubar “
Setelah ketiga temanku pulang aku mulai merapikan foto foto dan puisi ini. Aku bertekad untuk membeli album untuk semua foto kami.

Sayangnya beberapa minggu ini aku disibukan oleh pembuatan makalah.

***
Setahun kemudian...

Tak terasa waktu sangat cepat berjalan. Semuanya berlalu terlalu cepat seperti angin yang berhembus menerpa rambutku. Aku terduduk di serambi rumahku, menatapi foto kami berempat.

Hari itu kami berempat berada di Bosscha, menunggu malam untuk memotret sang Andromeda. Aku, Sastra, Ega dan Emil. Hari saat kami lengkap berempat tepat seminggu sebelum kepergian dua sahabatku itu.

Purnama terakhir datang pula menjemputku
Ketika sinarnya pudar, keajaiban kan datang padamu...

Sebuah puisi yang sangat singkat tapi memiliki arti yang sangat dalam. Puisi ini dikirimkannya lewat sms, saat ia dalam perjalanan bersama Ega menyusulku. Aku masih memikirkan apa maksud dari puisi ini. Biasanya almarhum menulis puisi yang di dalamnya selalu di sisipi teka teki, dan aku yakin puisi ini memiliki arti lebih dari sebuah puisi biasa.

Selain puisi singkat itu, ada satu hal lagi yang menyisakan misteri. Ia meninggalkan sebuah kotak buatku, entah ia membuatnya sendiri atau bersama Ega, ia seakan akan sudah mempersiapkan kematiannya ini. Dalam kotak tersebut aku menemukan banyak sekali foto kami semua dan yang pasti lembaran lembaran kertas puisi. Dan yang janggal adalah sebuah kertas berwarna gading yang berisi tulisan tegak bersambung khasnya, tinta hitam kesukaanya, tulisannya miring ke kanan dan lebih terlihat seperti ceker ayam, tapi aku masih bisa membacanya, kira kira seperti ini :

Membelai jiwaku
Yang rapuh

Membawa jiwanya
Dan mempersatukannya
Jiwa yang rapuh ini
Bertemu dengannya

Membelai
Dua buah jiwa yang rapuh ini

Hempaskanku
Menjauhkanku
Kudengannya

Membelai
Memisahkan kami
Angin daku pergi
Yang terakhir

Ini terpisah
Jiwa yang bersatu
Berhembus sekali lagi
Dengan dirinya
Angin berhembus
Tetap satu


Sayang sekali walaupun aku dapat membacanya, kertas ini terbagi dua, yang harus kulakukan adalah mencari satu potangan lagi. Sebelumnya aku harus membeli album foto untuk foto foto ini. Aku lalu memasukan potongan puisi ini ke dalam kotak. Aku mengambil tasku di dalam dan memasukan kotak ini ke dalamnya. Aku segera berangkat ke sebuah toko buku.

***
Setelah setengah jam memilih, akhirnya aku mendapatkan sebuah binder berwarna netral. Aku lalu mencari album untuk foto. Aku menemukan sebuah album berwarna kulit yang buatku cukup unik. Akupun hendak mengambilnya. Di saat yang bersamaan seorang wanita berkacamata dengan rambut bergelombang yang diurai rapi.
Aku menarik tanganku kembali, penglihatanku tak mungkin salah. Lidahku kelu, aku tergagap gagap menyebutkan namanya.
“ Aa.. Anka ?” sebutku susah payah.
“ Naldo ? “ ia menyebut namaku indah sekali, melantun lantun di telingaku.
“ Lagi ngapain lo di sini ?”
“ Kamu juga ngapain di sini “
“ Nyari album “ jawab kami berbarengan. Kami akhirnya terkekeh kekeh.
“ gimana kalau kita beli album aja yang sama, gue yang bayar “ kataku.
“ Makasih banget “ balas Anka
Aku membawa dua buah album yang sama ke kasir. Dan langsung membayarnya.

“ Makasih yaa,” katany lembut, matanya berbinar binar. Ada kehangatan dalam hatiku, mungkinkah? Mungkinkah dia sudah luluhkan hatiku ?
Aku masih menatapnya.
“ Loh kok bengong ?”
“ Eh, iya sama sama. Beli minum yuk. “
***
Aku menraktirnya minuman kami, duduk di kursi yang di sediakan. Dia memang punya kemiripan tapi dia memang berbeda. Tapi ada pesona dalam dirinya yang terus berusaha meluluhkan hatiku. Seketika ia menengoku, rambutnya yang tergerai menari nari indah. Tatapannya.
“ Eh, oh iya, dulu kalian kenal di mana ?” tanyaku membuka obrolan.
“ Waktu itu kita kenal di SMP, dia ikut eskul yang sama. Pertama ketemu dia, dia itu orangnya outspoken, dia melakukan dan bilang apapun yang dia pengen kadang blak blakan. Hari pertama kita ketemu itu, dia ketawa ketawa terus ga tau kenapa, tapi aku sekarang ngerti dia suka ketawa ketawa gitu karena dia senenga banget. Kalau kamu gimana bisa kenal dia ?”
“ Gue , kenal dia di kelas 6, kita waktu itu duduk sebangku. Dia temen yang baik. Kita deket banget, soalnya uwaknya temen mamaku. “
“ Ooh, dia sering banget cerita tentang kalian berempat. Dia seneng banget punya temen yang setia banget sama dia.”
” Oh ya, lo beli album buat apa? “ tanyaku penasaran.
“ Itu, aku beli buat naro foto foto yang Emil kasih. “
“ Yang dalem kotak ?” tanyaku, adrenalinku terpompa aku semakin penasaran.
“ Iya, emang kenapa ? jangan jangan kamu juga dapet ?! “ katanya sangsi
“ Iya... “ mataku berbinar ini adalah satu dari banyak kunci dari teka teki yang ia berikan.
“ Boleh gue liat ga ?” kataku lagi
“ Boleh boleh, nih” ia mengiyakan seraya mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya.
“ Nih, yang gue “ aku menerahkan sebuah kotak tampaknya sama persis.
Seketika kami sibuk dengan kotak yang ada di tangan masing masing.
“ Oh ya, kamu punya foto ditempat ini juga ?” tanyanya, yang dimaksud ‘tempat ini’ adalah sebuah kafe di daerah progo yang sering kami kunjungi hampir setiap malam minggu.
“ Iya, hampir tiap malming kita kumpul bareng disana. “ jawabku sambil mengkhayal, mengingat hari terakhir kami lengkap berlima, kali pertama aku mengecup bibirnya. Matanya membesar, berbinar binar, menatap diriku penuh arti.Rekaman kejadian itu terus menerorku. Aku takut aku tak bisa melupakanya tapi akupun takut untuk melupakannya.

“ Oh ya, lo punya kertas yang isinya puisi tapi kesobek ga ?” tanyaku
“ Oh itu ada ada “ ia menaruhnya di dalam sealed plastic rapi sekali, seperti petuga infestigasi menaruh barang bukti.
Aku segera mengeluarkan miliku, juga.
“ gimana kalau kita gabungin “ kata Anka antusias.
“ Bagus tuh, tapi gue ga bisa baca tulisan dia.
“ Itu sih gampang, dari dulu aku udah mempelajari gimana cara dia nulis dan akhirnya aku tau cara bacanya ... “
“ ooh, coba dong baca ... “

Angin

Kau berhembus membelai jiwaku
Mempermainkanya yang rapuh

Kau berhembus membawa jiwanya
Membawanya padaku dan mempersatukannya
Menyatukan dua buah jiwa yang rapuh ini
Tak ku sangka kan bertemu dengannya

Kau semena mena hempaskanku
Kau sekenanya menjauhkanku
Kau tak peduli pisahkanku dengannya
Wahai angin

Kaupun berhembus, membelai
Membujuk rayu membawaku pergi, memisahkan kami
Bersama angin daku pergi
Dalam hembusnya yang terakhir

ketika dua jiwa ini terpisah
pasti akan ada dua buah jiwa yang bersatu
dan angin berhembus sekali lagi
mempertemukan kalian berdua
memjadikannya satu

dan sekuat apapun angin berhembus
semoga kalian tetap satu

“ Maksudnya apa ?” tanyaku
“ Entahlah, kayanya tentang perpisahan tapi juga tentang pertemuan.Mungkin kamu juga ngerti ?” katanya
“ Tunggu tunggu, yang di maksud jiwaku sama jiwanya,gimana sama kalian berdua ?”
“ Iya ya... Maksudnya kalian berdua itu siapa ? Masa... ?”
“ Kita berdua ?”
***
EPILOG


Dengarlah wahai puisi,
Dengarlah curahan hatiku

Perjalanan ini sangatlah panjang
Tanpa hadirmu sahabat, perjalanan ini akan lebih panjang
Perjalanan ini sangatlah berat
Tanpa bantuanmu sahabat, tubuhku sudah remuk
Tiada bentuk menahan beratnya beban

Perjalanan hidupku buatku sadar
Kehadiran sahabat sangat berarti bagiku
Hanya mereka yang dapat mengertiku

Wahai puisi
Wahai purnama
Malam ini aku sadar
Aku sangat tidak berarti tanpa sahabat sahabatku

Dan wahai semesta
Jagalah sahabat sahabatku ini
Karnaku kan pergi
Cepat atau lambat
Jauh atau dekat

Semoga mereka mengerti

Purnama,
Beritahulah mereka
Jika,
Aku akan kembali lagi
Jika,
Aku akan hadir di setiap purnama
(bandung, 14 Juni )

“ Ga, Ega... “ panggilku
“ Apa, say ? “ jawabnya
“ Aelah, pake say segala. Gue ada firasat ga enak.”
“ Sama gue juga, kita batalin aja ketemuannya atuh “ sarannya
“ Tapi, gue kasian sama Anka sama Sastra, mereka kan udah mau nyampe. “
“ Ya, terserah sih. By the way Lo punya firasat apaan ?”
“ Gue ngerasa kita ga akan lama lagi, gue ngerasa ada yang jauhin kita semua. Seakan akan semua bakal berakhir. “ jawabku
“ Jangan dipikirin, nanti lo sakit lagi, ingetkan lo minggu kemaren lo sempet pingsan.” Katanya sambil membelai rambutku
“ Hati hati ya nyetirnya.” Kataku mengingatkan
“ Tapi lo janji jangan mikirin itu lagi, janji ya say ?” lagi lagi Ia memanggilku  say...
“ Janji, tapi jangan manggil pake say “
“ Apa dong? Beb ?”
Kami hanya tergelak.
“ Ga, pinjem tangan lo dong “
“ Buat apa?”
“ Pinjem aja, ga tau napa gue pengen megang tangan lo, dan gue ngerasa nyaman. “
Ia hanya menyubit pipiku lalu kembali menyetir.
Aku lalu memejamkan mataku. Ku tarik nafas dalam dalam. Saat itulah kami berdua benar benar pergi, meninggalkan semuanya. Kami pergi berdua, bersama, di satu kecelakaan naas. Dalam perjalanan untuk menemui sahabat. Dan kelak kami kan kembali lagi untuk mereka. Karna sahabat adalah bintang di langit yang selalu teragi malam gelap, kau tahu mereka selalu ada di sana walaupun tak terlihat.


Komentar

Postingan Populer