5Sahabat 3Cinta 1Dunia part 4
Jleb. Ada
sesuatu yang menabrak hatiku, masuk ke dalamnya menggali luka masa lalu dan
masuk ke otak mencari informasi. Itulah alasan kami berpisah. Karena sebuah
nilai. Iya sebuah angka. Mungkin rasanya aneh gara gara NEM saja kami jadi
hancur seperti ini. Ceritanya sangatlah panjang.
Tubuhku memberi kode untuk melihat ke arah Lexa. Kami bertatapan.
Beberapa detik untuk kemudian tertawa berderai derai.
“ Aduh, panas euy panas “
seruku sambil menyeruput teh
“ Iya, ih hot banget.”
Tambah Lexa
Ian bengong dan setelah itu ia baru bisa menangkap maksudnya.
“ Oooh, iya euy bisa
dehidrasi nanti saya “ serunya
Irfan dan Naldo yang sedang meniup teh di gelasnya saling
berpandangan heran. Aku, Lexa, dan Ian tertawa semakin keras.
Kata hot atau panas kami gunakan untuk mengambarkan keadaan yang
membuat darah tinggi atau menggambarkan sebuah ejekan tajam yang terlalu kejam
rasanya untuk di katakan - sarcasm.
“ Apaan,sih nggak ngerti ?” tanya Naldo
“ Udahlah, gak perlu ngerti “ jawab Ian
Aku dan Lexa pura pura sibuk dengan membereskan piring dan sendok.
Bersamaan dengan kembalinya masa lalu itu, ke- devil- anku juga ikut kembali dan bertambah. Kami ngobrol ngalor
ngidul, dan melupakan flashback –an
tadi. Yang ada sekarang adalah canda dan tawa.
Waktu begitu cepat bergulir, malam sudah menunjukan pukul tujuh.
Terlalu larut untuk sekelompok anak anak manusia yang jauh dari rumah, dan
hanya di temani teman teman kecilnya.
Udara dingin menusuk nusuk sampai ketulang. Daripada kami berlima
kedinginan di sini lebih baik kami segera kembali ke rumah.
“ Oy, balik sekarang, yuk! Dingin nih “ ujarku sambil berdiri
membawa setumpuk piring dan berjalan
menuruni tangga saung, lalu memakai sandal.
***
Di rumah kehangatan kembali menyambut kami. Setelah membereskan
gelas dan piring kami menghambur ke kamar masing masing, tapi tidak buatku.
Setelah menaruh jaket di kamar aku mengambil laptop dan duduk di sofa ruang
tamu.
Malam ini aku berencana mulai menulis, biasanya di tempat yang sepi
aku akan bebas berimajinasi. Laptop aku nyalakan, note dalam handphone ku buka.
Ini adalah catatan perjalanan ku kemarin, beberapa diantara banyak catatan
isinya adalah to do list, agenda, destinasi libur,ya macem macem lah.
Setelah laptop menyala aku membuka microsoft office dan memasang lagu the way you look at me milik Christian Bautista dengan volume 45%.
Satu demi satu kata kurangkai, menjadi kalimat. Satu, dua kalimat
mulai kurangkai hingga menjadi sebuah paragraf, dua paragraf, tiga paragraf,
dan seterusnya. Tanpa terasa seribu kata sudah kulewati.
Ah,
break dulu ah, gumamku. Aku lalu berjalan ke dapur untuk
membuat segelas kopi. Sebab sudah sejak tadi menulis mataku sudah sepet.
Tanpa sadar, saat ku mengaduk kopi mataku mulai terpejam dan
kepalaku mulai berayun ayun. Seketika aku terbangun kaget, lalu segera mencuci
muka dan kembali ke ruang tamu dengan segelas kopi. Di tengah jalan di depan
kamar Ian, Naldo, dan Irfan, aku melihat sesosok yang tampangnya kurang jelas,
sebab aku lupa pakai kacamata dan juga di tambah mata yang sudah ngantuk.
Akhirnya aku hanya lewat saja.
“ Oy, tidur ?” tanyanya
“ Hah ?! “ aku kaget
“ Mau ngapain malem malem gini ?” tanyanya lagi
“ ... “ aku tertidur sambil berdiri
Ia mengibas ngibaskan tangannya di depan mataku, aku terbangun lagi
dan melanjutkan perjalanan ke ruang tamu. Tapi ia tidak menyerah, ia
mengikutiku.
Sesampainya di ruang tamu aku menaruh gelas kopi di atas meja kaca,
tempat ku menaruh laptop dan kacamata. Aku secepatnya menggunakan kacamata dan
menyeruput kopi. Sedikit demi sedikit kesadaranku kembali .
Aku kembali serius menulis, tanpa menghiraukan sesosok di
hadapanku. Aku menegadah dan sesosok itu aku lihat dengan jelas.
“ Hah ?! ngapain kamu ?” tanyaku kaget, sebelum kesadaranku kembali
tadi aku tidak terlalu sadar dengan keberadaanya.
“ Lah, yang ngapain itu kamu. Malem malem masih belum tidur “
belanya
“ Haduh(menyeruput kopi dan kembali menulis )... gimana ya?”
“ Gimana apanya ?”
“ Ah, sudahlah sana tidur “ suruhku
“ Gak, sampe kamu tidur “ balasnya
“ Do.. do..udahlah, “ kumenatapnya dalam dalam
Tapi ia tak bergeming, dan tetap duduk di hadapanku. Ya sudahlah,
apaboleh buat. Jam di laptop sudah menunjukan pukul setengah sepuluh. Pantes!
Kopiku sudah habis dan kantuk mulai menyerang, aku lalu mengucek
ngucek mata. Sedangkan Naldo sudah sedari tadi tertidur dengan posisi duduk.
Aku lalu beranjak pergi ke dapur untuk menaruh gelas dan kembali dengan sebuah
selimut.
Yaa, lama lama ngeliatin dia tidur sambil duduk itu kasian juga,
kalau tiba tiba ada cicak jatoh trus dia mangap kan jadi lain lagi ceritanya.
Akupun membetulkan posisi tidurnya dan menyelimutinya.
Akhirnya pada bagian pertengahan cerita aku berhenti menulis dan
membuat teh. Setelah membuat teh ku lanjutkan menulis tetapi tidak lama
setelahnya aku terantuk antuk. Akhirnya aku sukses tertidur.
***
Pukul 23.45
Aku terbangun kaget karena handphone-ku berdering- alarm.
Atuhlah,
kenapa harus sekarang ? keluhku. Akhirnya aku beranjak dari ruang tamu
dan mencuci muka. Aku lalu masuk ke kamar untuk mengambil tripod dan kamera.
Dan kembali lagi ke ruang tamu.
Aku menghela nafas, mengumpulkan kesadaran. Laptop ku matikan. Aku berjalan
gontai ke arah pintu, kuraih gagang pintu dan anak kunci kuputar. Di luar langit
sudah menghitam, hanya bulan lah satu satunya penerang. Rencananya aku ingin
memotret di taman, tetapi rasanya tidak mungkin aku sendirian di sana, maka aku
memutuskan untuk memotret di halaman rumah. Tripod dan kamera aku pasang di
jalan setapak menuju teras. Kamera aku setting dengan ISO rendah dan speed 30
detik. Aku ingin membuat star trail.
Beberapa frame aku habiskan, tetapi setelah frame ke duapuluh
akhirnya aku tertidur lagi saat menunggu shutter
terbuka lagi.
“ Hooi, bangun... “ sahut sebuah suara
“ Huh?!” aku menjawab setengah tidak sadar
“ BANGUN !” sahutnya lebih keras
Tetapi aku tidak bergeming dan menggeliat sebelum tertidur kembali.
“ Bangun , hei !” kali ini suara itu menguncang guncangkan tubuhku.
Aku pun terbangun
“ Apa, sih ?” protesku
“ Ngapain malem malem di luar rumah ai kamu ?” tanyanya
“ Ngapain, weh. Kamu juga ngapain ngikut ?” tanyaku kembali.
Jam menunjukan pukul 24.30. Aku menyerah jika harus memotret lagi,
akhirnya peralatan aku bereskan dan kembali ke rumah.
***
Pagi ini kami lewati bersama. Kami lebih banyak menghabiskan waktu
di taman. Matahari sudah berada di atas ubun ubun. Udara menghangat tetapi
kepala kami sudah panas.
“ Uh, panas gini euy ?” keluh Irfan
“ Iya, nih saya nanti jadi item “ tambah Ian
“ Ah, lebay kamu Ian “
timpal Naldo
Aku dan Lexa hanya terkekeh.
“ Ya udah atuh kalo udah bosen di sini kita maen ke situ patenggang
aja “ seruku
“ Yang bener ?” Ian dan Lexa tidak percaya
Aku mengangguk
Keempat kawanku bersorak.
Setelah aku menelepon supirku kami pun berangkat ke situ patengang.
Aku dan setumpuk alat fotografi ditambah empat orang pasien rumah sakit jiwa
siap berangkat.
***
Setelah melewati hampir satu jam perjalanan kamipun sampai. Aku
menghela nafas dan mengedarkan pandangan saat turun dari mobil. Huft!
“ Eh, makan yuk! Di sini paling enak makan indomie “ seruku. Uap
hangat keluar dari mulutku seperti naga saat berbicara.
Keempat kawanku mengiyakan. Kami pun berjalan ke arah sebuah warung
yang menjual mie. Setelah selesai makan kami langsung mengelilingi danau dan
berfoto ria mulai dari selfie hingga levitasi levitasi gila.
Sebuah tempat yang tak lepas dari lensa kameraku adalah batu cinta.
Kami berlima berfoto dengan background batu tersebut.
“ Mau ngapain lagi ?” tanya Lexa
“ Naik perahu yuk ke pulau asmara “ seruku
“ Ayo... ayo, kita buktiin mitos nya “ Naldo bersemangat, sedangkan
Irfan menyikut tangannya dan tersenyum jahil.
“ Ah euy, mulai deh.
Mitos lagi mitos lagi “ protes Ian.
“ Ian mah... udah yuk “
Kami berlima berjalan mendekati tempat penyewaan perahu. Satu
perahu dapat menampung sepuluh hingga lima belas penumpang. Kami lalu naik ke
atas perahu entah mengapa formasi kami selalu sama Ian duduk sendiri, Lexa dan
Irfan berdua, sedangkan aku berdua dengan Naldo. Seperti biasa kami berima
pasti tak lupa selfie dulu.
“ Yan, mau nyewa bebek air gak nanti ?” tanyaku iseng
“ Lah, gak akan mungkin kali ada juga baru mau dinaikin udah kabur duluan bebek airnya “
timpal Irfan
“ Atau palingan si Ian mah dijadiin ban pelampung... hahahahah” Naldo
ikut ikutan dan disambut tawa renyah kami. Ian hanya cemberut menanggapinya.
Kami memang gila apapun bahasannya bisa jadi bahan guyonan.
“ Eh.. eh, tau enggak ..” Irfan serius
“ Enggak “ Ian udah kesel dari tadi pengen nyela
“ Iya, sok apa “ Lexa penasaran.
“ Beberapa hari yang lalu sebelum kesini gue nonton berita... “ Ia
mulai bercerita
“ Halah... paling ujung ujungnya garing “ ujarku
“ Ish, ai kamu dengerin dulu “ protes Ian.
“ Jadi, yaa ada orang jadi korban mutilasi “ lanjut Irfan
Tiba tiba beberapa penumpang ikut mendengarkan
“ Lanjut “ pinta Ian
“ Udah, di mutilasi teh ya, di masukin kardus. Kalo biasanya
dibuang ini mah dijual...” ia berhenti sejenak
“ Ih, sadis pisan “ komentar Lexa
“ Trus ada lagi yang mau beli trus dimakan “ irfan sok serius
“ Ihh “ ketiga temanku bergidik
“ Halah gituan. Marta kan namanya ?” sahutku
“ Hu Uh “ ia mengiyakan
“ Marta... Ah, martabak kan ?” lanjutku
“ Tuh tau “
“ Bilang dong,” protes Naldo
“ Huuuuuh”
Karena terus terusan bercanda aku jadi lupa memotret. Di luar
perahu banyak sekali bebek air, biasanya mereka ditumpangi satu pasangan dan
rasanya sayang jika dilewatkan tanpa dipotret.
Perahu ini akhirnya berhenti, menghantarkan kami ke sebuah pulau
kecil – pulau asmara. Kami pun menjejakan kaki di atasnya.
“ Balik lagi, yuk ! gak rame, palingan juga cuma ada pasangan yang
masih percaya mitos gituan... gak ada interestnya “ keluhku
“ Iya, yuk kita balik, Mil .” Ian mengiyakan
“ Eits, enak aja mau kabur .” Naldo menarik tanganku, aku lalu
berpegangan pada tangan Ian – rencananya sih mau kabur. -_-
“ Ya udah, Yan. Kita nikmatin aja “ bisiku pada Ian. Ia hanya
mengangguk lesu.
Irfan dan Lexa sudah berjalan duluan di depan di susul Ian, tiba
tiba Naldo langsung mengandengku. Aku kaget.
Akhirnya aku pasrah. Pemandangannya
yaa, menurutku biasa biasa saja. Tetapi aku harus terus mengeksplor.
Sayangnya aku hanya dapat memotret dengan tangan kanan sebab tangan kiriku
berada dalam genggaman Naldo. Jadi, saat perlu men – zoom aku harus memutar
ring lensa terlebih dahulu sebelum memotret.
Sinar mentari menyelusup di antara rimbunnya popohonan, menimbulkan
efek ROL atau ray of light. Aku menengadah, dan memotret komposisi antara
rimbunnya pohon dan cahaya mentari memberikan kesan dramatis.
“ Ian, kenapa muka lo ?” tanya Irfan
“ Iya, asem amat “ tambah Naldo
“ Ian, laper ?” tanya Lexa
“ Enggak,kok “
“ Trus kenapa atuh ? Ah ah ah, aku tau galau kan ?” tanyaku
“ Ya, gitu deh “
Kami berempat tertawa mendengar jawaban Ian.
“ Sabar ya, Ian. Mungkin memang bukan dia.” Kataku menghibur.
Ia hanya mengangguk lemah.
Dari kejauhan aku melihat satu pasangan yang menurutku ganjil,
entah apa yang salah dari mereka tapi rasanya aku harus memotret mereka dan di
saat yang sama, salah seorang dari mereka memotret kami. Huh benar benar aneh.
“ Udah yuk, dari tadi kita Cuma muter muter aja. Lagian udah sore.”
Seruku memecah keheningan
“ Ayo... Ayo... udah dingin pula, lagian ada di pulau ini rasanya
saya teh manusia paling sengsara di dunia. “ Ian berkomitmen
Kami saling berpandangan geli, memang selama perjalanan muter muter
gak jelas tadi Cuma Ian yang jalan sendiri.
Kami akhirnya memutuskan untuk pulang.
Perkebunan teh yang kami lewati sepanjang perjalanan pulang terkesan
lebih dramatis, warna kuning keoranye oranyean jatuh dengan lembut di helaian
daun.
***
Karena ini adalah malam terakhir kami. Kami memutuskan untuk menghabiskan
sisa malam kami di taman.
Nah, kali ini aku bisa membuat star trail yang lebih baik.
“ Mil, boleh main kembang api ?” tanya irfan
“ Sok aja sana, asal jangan main petasan “ kataku serius, maaf
salah maksudnya serius ngurusin kamera dan tripod sampai Irfan ngomong gak di
liat.
Setelah tripod dan kamera terpasang aku langsung membuat test shot sedangkan Irfan dan kawan
kawan sedang bermain kembang api.
“ Eh, Fan koreknya masih ada ?” tanyaku
“ Masih emang kenapa gitu ?”
“ YA gak apa apa “
Setelah memeriksa hasil test
shot yang hasilnya lumayanlah , aku berjalan ke arah saung dan membuka
lantai saung. Lumayan berat tapi sudahlah. Di dalamnya ada sebuah benda
berbentuk seperti roket.
“ Woooi, Fan, korek masih
ada kan ?”
“ Maseeeh “
“ Woke bos “ aku langsung membawanya ke tengah taman dan
memasangnya kamera aku arahkan ke tempat perkiraan petasan tersebut akan
meledak.
“ Mil, ceunah jangan main petasan ai kamu sendiri “ Ian berkata
“ Eheheheh. Fan, mana koreknya. Kamu ajalah yang nyalain “
Aku bersiap dengan kamera, Irfan sedang menyalakan korek api bersiap
meluncurkan petasan satu satunya, Lexa,Ian, dan Naldo sedang memperhatikan
Irfan.
“ Satu... Dua... Tiga... “ Irfan berhitung sembari membakar sumbu
dan menutup telinganya. Aku bersiap dengan kamera, jariku melekat pada rana
mataku tak luput dari petasan yang baru saja meluncur. Seketika jariku ikut
menekan rana bersamaan dengan meledaknya petasan.
“ Bravo ... Bravo ... Lagi yuk !” seruku
“ Emang masih ada ?” tanya Lexa
“ Ada itu di bawah saung ambil aja “ kataku
Keempat kawanku bersorak. Aku akan memotret dari ketinggian
berbeda, so aku berjalan ke tempat
yang lebih tinggi dan duduk di jalan setapak. Ketiga kawanku sedang bersiap
menyalakan petasan berikutnya... HAH TIGA !? Berarti...
Benar saja Naldo sudah duduk di sebelahku dengan senyumnya.
“ Ih, ngagetin aja “
“ Heheheheheh “
“ Mau ngapain ? “ tanyaku
“ Mau nemenin kamu “
“ Alah gombal “
“ ... “
Petasan kedua sudah meluncur, aku harus cepat cepat memotretnya.
“ Mil... “
“ Huh ? “
“ Yee, nyaut “
“ Apa , sih ? “
“ Aku mo ngomong... “
“ Ya, sok aku dengerin . ” Aku masih serius dengan kamera.
“ Mil ... sebenernya....”
Komentar
Posting Komentar
Nama :
E-mail :