5 Sahabat 3 Cinta 1 Dunia part 3
Keempat
temanku sedang asik menonton televisi. Sesekali mereka tertawa dan saling
melempar guyon atau bahkan jadi korban guyonan.
“
Guys, yang mau di bawa, masukin ke tas kecil mabelas menit lagi kita cabut “
seruku setelah menerima telepon.
Tak
lama setelahnya kami telah siap dengan bawaan masing masing. Tanpa ba bi bu aku
langsung berjalan keluar rumah ke arah sebuah garasi yang letaknya lebih tinggi
sehingga kami harus menaiki beberapa anak tangga. Di halamannya sudah ada
mobilku menyambut lengkap dengan supirku
juga.
“ Loh
kok ?! “ Ian bingung
“
Iya, Ian. Tadi pagi kita sengaja gak naik mobil pribadi biar gak terlalu
mainstream, lagian kalau naik mobil pribadi kalian keenakan, “ jelasku dan
langsung naik ke mobil.
At
least, keempat temanku ikut naik. Aku duduk di depan, Lexa, Irfan dan Naldo
duduk di tengah, dan Ian ia duduk di belakang.
Telinga
ku sumpal dengar earphone.
Suasana mobil yang hening membuatku tak
tahan. Akhirnya aku melepaskan earphone dan menyalakan radio mobil dan memasang
usb.
Mobil yang sama dan supir yang sama juga.
Sebuah mobil fortuner hitam yaa, memang bukan milikku. lebih tepatnya milik
kakekku.
Perjalanan menuju ke kebun teh hanya
memerlukan waktu kurang dari satu jam. Pemandangan yang di suguhkan pun sangat
memanjakan mata.
Mobil telah meninggalkan alun alun kota
ciwidey, perjalanan dimulai dengan sebuah tanjakan panjang. Jendela ku buka dan
AC pun ku matikan.
Sesuatu yang sudah lama tidak ku rasakan.
Dari spion dalam ku dapat melihat Ian tertidur, sedangkan Lexa yang duduk di
belakangku tampaknya sedang meladeni kedua teman lelakiku, rasanya ada yang
mengiris hatiku. Aku hanya tersenyum kecut ke arah spion.
Setidaknya sudah setengah perjalanan.
Mobilku sudah memutari pegunungan, pohon pohon tinggi ada di kiri kanan jalan.
Tak jauh setelahnya hamparan kebun teh mulai terlihat. Supirku melihat ke
arahku. Sebuah kode yang sudah ku rangcang sejak beberapa waktu lalu. Aku pun
lalu mengangguk dan segera menggunakan safety belt, aku siap siap berpegangan.
Sesuai perjanjian, saat mulai memasuki daerah kebun supirku akan mempercepat
laju kendaraan.
Keempat temanku yang tidak tahu, hanya
saling berpandangan melihatku- aneh mungkin. Akupun berhitung dalam hati 1..
2.. 3.. mobil pun melesat, keempat kawanku panik. Sedangkan aku tertawa lepas.
Lepas sekali. Walaupun masih banyak hal yang belum bisa aku lepaskan. Tak lama
mobil ku sampai di sebuah tanah lapang yang berada di antara kebun tah.
Aku lalu turun dari mobil dan membuka ke dua pintu di tengah. Tanpa
ekspresi, keempat temanku masih panik. Tak lupa pintu bagasi ku buka, di
dalamnya ada tas kamera yang tadi ku bawa, dan beberapa peralatan fotografi
lainnya. Dari dalam tas aku mengeluarkan sebuah block note yang sudah lama ku
corat coret.
” Oy, mau turun gak ?” tanyaku setengah berteriak. Yaa, merekapun
akhirnya turun dan berjalan ke arahku.
“ Mau gimana fotonya, Mil ?” tanya Irfan
“ Noh, baca “ perintahku sambil memberikan block note yang tadi ku
keluarkan.
Kamera segera kupasangkan dengan sebuah lensa sapujagat. Lensa ini
mencakup rantang yang luas dan zoom yang jauh dan lumayanlah gak perlu ganti
ganti lensa. Bagian luar lensa dan kamera kubungkus dengan plastik yang sudah
ku modifikasi, alasannya supaya tidak lembab dan ke dua siap siap siapa tahu
tiba tiba hujan.
“ Mil, ini teh yang mana posenya ? banyak banget “ tanya Lexa
dengan nada protes.
“ Terserah kalian aja, coba liat baik baik yang menurut kalian
simple ya sok aja “ balasku tanpa menoleh, sebabku sedang membersihkan bagian
depan lensa.
“ Ya udah lah , Mil, mending kamu aja yang ngatur bingung kalau
suruh milih gitu mah “ Irfan berpendapat
Lexa mengangguk meng iyakan.
“ Okelah, yo kita mulai! “ seruku yang kemudian mengalungkan kamera
dan berjalan mendekati hamparan tanaman teh.
***
“ Oke, Lex, Fan ! siap ya, yang lari duluan Irfan “ seruku. Irfan
dan Lexa sudah berpose, mereka berpegangan tangan dan bersiap berlari.
“ Eh, ini pemanasan dulu. Nanti pas lari Irfan liat ke arah Lexa,
trus sisanya kalian sesuaiin aja sendiri. Siap ya! Satu... dua... tiga... “ keduanya
berlari menjauh
“ Ya, cukup! “ keduanya berhenti berlari dan kembali ke tempat
semula.
“ Gimana, Mil ?” Lexa penasaran
“ Nih, fotonya sengaja aku bikin blur biar keliatan lari “ jelasku
sambil memperlihatkan foto yang tadi ku ambil dari LCD kamera.
“ Hebat euy si emil “ puji Irfan
“ Eh, Ian bantuin yuk “ seruku menepuk pundah Ian, dan berjalan ke
arah mobil.
***
“ Nah, Ian, ini tripod berdiriin di tempat aku tadi berdiri trus
kalo stereofoam taro aja dulu di atas tanaman teh “ perintahku sambil memberikan
kedua benda tadi
“ Oke siap “ seru Ian dan lalu meninggalkan ku.
Aku kembali membuka tas kamera dan mencari sebuah flash gun dan triggernya, untuk memperhalus cahaya yang di hasilkan aku
menggunakan kertas hvs yang telah di potong secukupnya untuk menutupi bagian
lampu pada flash.
“ MIL ?! GERIMIS MIL !?” seru Naldo setengah berteriak.
Aku terhenyak,dan langsung mencari payung sayangnya hanya ada satu
buah payung, ya sudah lah.
Aku lalu berlari ke arah
mereka berempat.
“ Nih, payungnya “ kataku sambil menyerahkan sebuah payung untuk
Lexa dan Irfan dan segera memasang kamera di atas tripod, sebab dingin bisa
membuat tanganku bergetar.
“ Lah, kamu ?” tanya Lexa
“ Ah, udahlah gak apa apa. Ian, Do kalian di mobil aja mendingan.
Ian, di bagasi ada makanan tuh “
Ian tanpa banyak berpikir segera kembali ke mobil sedangkan Naldo
masih terdiam
“ Kamu gimana ?” tanyanya khawatir
“ Udah beneran gak apa apa... Lex, Fan ! Look at me “ aku
mengalihkan pembicaraan. Yaa, sejujurnya aku kedinginan di tambah aku tidak
pakei jaket, tapi lebih baik jika proyek ini cepat selesai dulu.
Lexa dan Irfan melihat ke arahku.
“ Yo ! Irfan pegang payung pake dua tangan, Lexa akting kedinginan.
Siap yaaa. Satu.. dua.. tiga... “ sebenarnya flash yang ku bawa jadi tidak berguna, seandainya ada plastik dan
seorang yang rela berhujan hujanan untuk memegannya. Aku menengok kearah
belakang, ternyata Naldo masih belum beranjak ia masih berteduh di bawah pohon.
Gerimis seakin merapat dan berubah menjadi hujan, sebelum aku basah
kuyup lebih baik aku percepat saja.
“ Oke guys, this is the last
shot. Kalian berdua hadap belakang trus yaa payung terserah siapa yang
pegang. Oke satu... dua.. tiga... “
“ Sip oke kita pulang... “ seruku
Irfan, Lexa, dan Naldo berlari kearah mobil.
***
“ Ian, kursinya lipet dong “ pintaku
Ian pun melipatkursi belakang, sehingga kami berlima bisa duduk
leluasa.
“ Mil, liat dong foto fotonya ?” pinta Lexa.
“ Nih, Cuma beberapa pose “
“ Eh, payungnya mana ?” tanyaku
“ Tuuh “ Irfan memonyongkan bibir kearah luar mobil
“ Mana ?! Gak ada apa apa “
“ Alah sia ?!!! “ serunya.
Aku langsung keluar dari mobil dan kembali berhujan hujanan mencari
payung. Untung saja payungnya belum jauh terbawa angin. Huft! Aku pun kembali
ke mobil. Keempat kawanku sedang menikmati cemilan yang sengaja ku siapkan di
mobil sebelum pergi ke mari. Mereka dalam lamunannya masing masing.
Walaupun belum basah kuyup angin gunung dan hawa dingin saat hujan
membuatku kedinginan. Tetapi kehangatan menyelimuti kebersamaan kami.
“ Mil, nih pake jaket saya dulu aja “ kata Naldo sembari
menyodorkan jaketnya ke arah ku. Tapi, aku menolak.
“ Enggak ah, makasih ,Do. “
“ Yeeeh, nanti sakit gimana ?” ia berkelit
“ Beneran kok aku gak apa apa ?”
“ Cie... baru juga ketemu lagi beberapa jam lalu udah ber – chemistry lagi “ goda Irfan
“ Alah, kamu aja kali ngiri “ bela Naldo
“ Hahahahahaha, berarti bener dong “ Ian menambahkan
Aku hanya tersipu, keempat temanku memang gila. Tapi ada yang lebih
gila lagi dari itu, yaitu ketika kami lengkap berlima.
“ Udah yuk ah, kita balik lagi kalau masih mau di sini besok balik
lagi “ ajakku. Waktu sudah menunjukan hampir pukul setengah empat.
Kami berlima kembali ke villa kakekku. Mobil kami di hdang sedikit
kemacetan di alun alun kota. Langit kelabu dan titik titik air hujan di kaca
mobil berpadu dengan hiruk pikuk jalanan, memberikan rasa lain di mataku
terlalu indah untuk diucapkan sama seperti ah sudahlah, keduanya membuatku
enggan memotret.
***
Kami pun sampai di villa kakekku – lagi. Semua barang bawaan aku
turunkan. Supirku kembali ke rumahnya, sebenarnya supirku ini orang ciwidey
asli, makanya rumahnya pun tak jauh dari villa kakekku ini.
Senja menjemput kami ketika akan memasuki villa. Udara dingin
membelai kami halus. Kami pun masuk ke dalam villa. Semua peralatan fotografi
ku taruh di ruang tamu. Keempat kawanku merebahkan tubuh mereka di sofa ruang
tamu. Kami berlima terdiam – hening. Yang terdengar hanyalah helaan nafas dari
masing masing
“ Besok kita main ke situ patenggang. “ kataku datar
“ Mau ngapain lagi ? “ Lexa antusias
“ Seingetku ... situ patenggang itu punya mitos yang sampe sekarang
masih dipercaya “ balas Naldo.
“ Mitosnya kalau gak salah tuh, kalau ada pasangan yang pengen cintanya abadi harus
ngelilingin pulau sasaka atau pulau asmara “.” Huh huh ?” tamabahku sambil
menaik naikan alis meminta persetujuan.
“ Alah mitos, masa gara gara ngelilingin pulau bisa bikin cinta
abadi “ bantah Ian
“ Yeee Ian... Ian. Namanya juga mitos” tambah Irfan
“ Tul.. “ sahut Lexa
“ Kalau tanjakan cinta tau ?” tanyaku
“ Yang di Mahameru kan deket Ranu Kumbolo?” jawab Naldo
“ Yup, that’s right !!!”
“ Jadi, kalau kita trus mendaki itu tanjakan tanpa ngeliat ke bawah
lagi, pokoknya semua mimpi tentang cinta kita bakal terwujud.” Jelas Naldo
“ Tapi, satu lagi syaratnya kita harus terus mikirin orang yang
kita mauin itu “ tambah ku
Ketiga temanku hanya mengangguk angguk antara mengerti dan tidak
mengerti
“ Tar, di mana lagi ya yang punya mitos cinta lagi ?” gumamku
“ Ah udah ah, mitos wae dari tadi “ Ian angkat bicara.
“ Hacim .” Tuh, kan Naldo bilang juga apa, jadi sakitkan.” Semuanya
terdiam, padahal aku hanya bersin saja.
“ Apa ? Hebatkan Emil. Bisa baca pikiran .” lanjutku. Yaa, memang
benar kata kata yang tadi ada setelah aku bersin akulah yang mengucapkan bukan
Naldo.
Keempat temanku masih tidak percaya.
“ Okeh.. okeh, tenang aja. Aku gak akan baca pikiran kalian terus
kok” tambahku
“ Memang sejak kapan kamu bisa baca pikiran ?” tanya Lexa
“ Hmm... aku kurang tau pastinya tanggal berapa, tapi yang jelas
kalau gak salah pas awal masuk kelas enam.”
Jawabku
“ HAH?!” keempat temanku kaget
“ Ah, udahlah gak usah di pikirin, kita nonton aja yuk” aku
mengalihkan pembicaraan.
Kami pun beranjak ke ruang keluarga. Untuk
menonton televisi. Tak terasa waktu begitu cepat bergulir. Sekarang sudah pukul
enam sore.
“ Eh, kita belum makan lagi ya “ seruku
“ Iya, euy pantesan asa
ada yang kurang gitu “ Ian ikut ikutan
“ Dasar endut tadikan
kamu baru ngemil di mobil “ ejek Irfan
“ Itu jugakan beberapa jam lalu, keles “ bela Ian
“ Heh?! Emang masih jaman apa bilang keles “ tambah Naldo
“ Hahahahah “ kami tertawa, hanya Ian yang bermuka kecut
“ Ah, udah yuk, Ian, kita makan “ ajaku.
Aku dan Ian masuk ke dapur.
“ Mau makan apa ndut ?”
tanyaku
“ Nasi goreng, gitu “
“ Enak tuh kayanya “ seruku
“ Ya,udah atuh yuk kita masak “ Ian bersemangat.
Kami berdua menyiapkan nasi dan bumbu bumbu dapur. Sementara kami
memasak Lexa, Irfan, dan Naldo sedang yaa ngobrol dan bercanda ria. Sebenarnya
saat akhir semester kelas enam beberapa waktu sebelum pembagian rapot, kami
berlima putus hubungan, Lexa, Irfan dan Naldo punya geng,
Ian dan aku sibuk dengan orang lain. Dan setelah itu kami berbeda sekolah dan
kehilangan kontak. Beberapa minggu lalu aku bertemu dengan Irfan, kami berdua
ingin persahabatan kami berlima kembali seperti dulu, dan munculah ide ini.
“ Ian, masukin mangkok gede aja kita mau makan di luar “ kataku
sambil keluar dari dapur. Aku berjalan ke arah lemari tivi di ruang keluarga,
ku buka pintunya dan di dalamnya ada sebuah senter besar berwarna kuning – sama
persis seperti yang selalu ada beberapa waktu lalu, aku lalu menuju kamar untuk
mengambil jaket dan kembali lagi ke dapur.
Aroma nasi goreng hasil kreasiku dan Ian, menyeruap di seisi dapur,
uap panas masih mengepul ngepul dari teko teh. Setumpuk piring dan gelas siap
kami gunakan.
“ Ayo Ian, kita makan di taman “ kataku sambil memakai jaket
Kami berdua berjalan tanpa ekspresi melintasi Lexa, Irfan dan Naldo
yang sedang asik mengobrol di temani televisi.
“ Mau kemana ?” tanya Lexa
“ Ikut dong “ seru Naldo
“ Mau makan “ seru Ian
“ Ya udah yuk, tapi tolong ini bawain“ lanjutku.
***
Kami berlima keluar dari rumah, pintu tak lupa ku kunci terlebih
dahulu. Angin malam mulai menyelimuti kami, langit mulai menggelap. Senter
segera kunyalakan, Treq!
Aku mulai berjalan ke depan, dipandu oleh cahaya senter. Keempat
kawanku hanya mengekor dan menggunakan senter seadanya dari smartphone masing
masing.
Kamipun sampai di saung yang tadi siangpun kami jadikan tempat
berteduh. Berbeda dengan keadaan di sekitar saung yang gelap gulita, saung kami
sangatlah terang benderang, pinggiran atap diberi lampu warna warni yang
bergantian menyala setiap beberapa detik.
Lexa dan Ian menyimpan nasi goreng dan piring di lantai saung.
Tanpa sadar kami sudah duduk menggelilinginya. Ian diapit Lexa dan aku,
sedangkan Irfan duduk di sebelah Lexa dan Naldo di sebelahku.
“ Ayo ! Makan ! “ seru Ian.
“ Iih, berdoa dulu kali “ serobot Naldo.
Kami terkikik kikik melihatnya.
Naldo pun memimpin doa.
Setelah doa selesai kami berebut mengambil nasi goreng. Dan duduk
semaunya
“ Ian, jangan banyak banyak ya ngambilnya “ godaku
“ Iya iya... “ balasnya datar
Langit ciwidey yang hitam pekat membuatku berimajinasi lagi.
Rembulan bersinar malu malu di balik segumpal awan. Bintang bintang berkumpul
dan saling menyinari. Malam yang indah,
batinku berkata.
“ Mil, ngeliat lampu ini jadi inget soal KPK “ seru Irfan sambil
menunjuk lampu lampu kecil yang dipasang menjuntai di sekeliling atap.
“ Iya, ya kaya soal UN pas kelas enam “ tambah Ian polos.
Aku terdiam.
..Flash back..
Komentar
Posting Komentar
Nama :
E-mail :